Hak Pilih Warga Negara dalam Perspektif Bawaslu

oleh -


OLEH: Darmiati SH*

Hak pilih merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin melalui perhelatan pemilu yang digelar 5 Tahun sekali.

Rakyat memilih sosok pemimpin yang terdiri dari Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) baik di pusat, propinsi dan kabupaten/kota, serta memilih presiden dan wakil presiden.

Dalam menggunakan hak pilihnya, tentu dilandasi dengan ketertarikan hati kepada figur dan tawaran visi-misi dan program dari calon yang “dijagokan”.

Bawaslu memastikan bahwa penggunaan hak pilih ini benar-benar lahir dari kesadaran politik warga negara untuk mewakilkan suaranya kepada figur yang diyakini akan membawa negara Ini kearah yang lebih baik lagi. Dipastikan tidak terdapat praktik-prektik yang mengarah kepada kecurangan Pemilu, seperti:

  1. Melakukan money politic.
  2. Menggunakan Politik Identitas.
  3. Menyampaikan atau menyebarkan ujaran kebencian.
  4. Menggunakan Isu SARA.
  5. Menggunakan anggaran dan program pemerintah.
  6. Melibatkan ASN, TNI/Polri, pejabat negara dan atau daerah, kepala desa, pejabat BUMN/BUMD dalam mempengaruhi pemilih dengan tujuan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

Hal ini bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 terutama pasal 280 sampai dengan pasal 283.

Kedaulatan rakyat semestinya digunakan dengan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Kekuasaan yang ada di tangan rakyat harus diartikan sebagai kekuasaan murni dari kekuatan rakyat, bersatu membangun negeri yang Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur.

Rakyat yang berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 Sebagaimana yang terdapat dalam alinea keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

*Penulis adalah Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi-Tengah, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi