SIGI – Pelaksanaan Haul ke-4 Alhabib Saggaf bin Muhammad bin Idrus Aljufri yang dipusatkan di Pondok Pesantren (Ponpes) Alkhairaat Madinatul Ilmi Desa Kotarindu, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, berlangsung meriah dan penuh khidmat. Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh, antara lain Rektor Universitas Al Ahgaf Yaman Dr. Alhabib Abdullah bin Muhammad Baharun, Pimpinan Majelis Alsalafy Kebun Nanas Jakarta Alhabib Hud bin Muhammad Bagir Alatas, Murid Guru Tua Alustad Sofyan Lahilote, Anggota DPRD RI Longki Djanggola, dan Gubernur Sulteng H. Anwar Hafid.

Acara Haul yang diawali dengan pembacaan Surah Yasin dan Tahlil tersebut, dilanjutkan dengan penyampaian Manaqib perjalanan kisah Almukarram Alhabib Saggaf bin Muhammad Aljufri oleh cucu Almarhum Habib Saggaf, yakni dr. Salim bin Alwi bin Saggaf Aljufri, yang merupakan anak dari Ketua Utama Alkhairaat Habib Alwi bin Saggaf Aljufri.

dr. Salim dalam manaqibnya mengatakan bahwa Sayid Saggaf bin Muhammad Aljufri adalah seorang ulama dan pendidik, seorang pemimpin yang hidupnya disinari oleh ilmu pengetahuan dan pengabdian. Alhabib Saggaf lahir pada tanggal 17 Agustus 1937, bertepatan ketika negeri ini membuka pintu sejarah kemerdekannya pada 17 Agustus 1945.

Mungkin ini sebuah kebetulan ketika tanah air mengangkat kepalanya dari belenggu penjajah, terlahirlah anak yang akan menjadi pelita peradaban, sebagian cahaya mentari yang menyibak gelap pagi. Kelahiran Habib Saggaf membawa harapan bagi umat dan negeri tercinta ini.

Darah Nabi Muhammad SAW mengalir pada relung Habib Saggaf, dan nasabnya bersambung pada Nabi mulia Balawi dengan marga Aljufri. Habib Saggaf merupakan cucu dari seorang wali besar pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua, dan dari rahim ibunya, Syarifah Raguan. Habib Saggaf lahir dalam buaian dzikir dan tangis harap. Di kala itu, azan subuh bukan sekadar panggilan salat, namun nyanyian pembuka hari yang sarat dengan semangat untuk mengabdi, memerdekakan, serta mencerdaskan umat.

Lanjut Habib Salim menyatakan, sejak kecil, Habib Saggaf bukan anak yang banyak bicara, tetapi matanya merekam, hatinya menyerap, dan akalnya menggenggam cahaya. Di usia belia, ketika anak-anak bermain layang-layang di bawah langit sore yang menyengat, Habib Saggaf telah menghafal matan-matan ilmu dan duduk bersila di depan kitab-kitab kuning yang bertumpuk di rak rumah.

Jiwanya haus, lanjut Habib Salim, akan ilmu dan rindu pada datuknya yang agung, Guru Tua. Hingga beliau menginjak usia 12 tahun, Habib Saggaf menguatkan tekadnya untuk pindah ke Kota Palu demi belajar pada sang kakek, Alhabib Idrus bin Salim Aljufri. Melihat tekad sang anak yang kuat, Syarifah Rugayyah binti Tholib mengatakan pada Habib Saggaf.

“Habib Saggaf, engkau ingin pindah ke Kota Palu?” Namun hal itu tidak mematahkan semangat, karena Habib Saggaf tahu bahwa, di Palu, bukan ada kemewahan, namun di sana ada datuknya, Guru Tua. Bukan ada pelayanan, bukan ada panggung serta pujian, namun yang ada hanya tikar usang serta suara lirih dari santri-santri Alhabib Idrus bin Salim Aljufri yang lapar akan khidmat.

Saat di Kota Palu, Habib Saggaf mengabdikan diri di Alkhairaat sebagai pelajar dan membantu tugas-tugas Habib Idrus serta menyatu bersama santri. Tidak ada keistimewaan serta sekat. Selain itu, tidak ada gelar cucu Guru Tua yang membuatnya mendapat kamar khusus atau hidangan mewah. Habib Saggaf juga makan dari nampan sama dengan santri lain dan belajar serta tidur dari gelar bambu yang sama dengan santri lainnya.

Namun dari kesederhanaan itu, tumbuh sosok yang besar, bukan karena gelarnya, melainkan karena jiwanya. Habib Saggaf belajar bukan sekadar menjadi orang yang pandai, namun menjadikan dirinya sebagai alat dari Allah SWT untuk menerangi umat dari kebodohan.

Pendidikannya merupakan kisah pengembaraan ruh dan rohani. Seiring berjalannya waktu, Habib Saggaf pada tingkat Mualimin menjadi salah satu murid yang menonjol dan menguasai pelajaran. Habib Saggaf ditugaskan untuk mengajar sore hari, dan hari-harinya Habib Saggaf belajar membaca Qiraatul Kutub di hadapan langsung sang kakek, Habib Idrus. Selama itu, sang Kakek, Habib Idrus, mendidik, mengajar, membina, serta menempa secara langsung.

Nampaknya, Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua telah melihat ada tanda-tanda istimewa pada cucunya, sehingga Guru Tua mempersiapkan Habib Saggaf sebagai penggantinya kelak. Lalu pada tahun 1959, Habib Saggaf memperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan studi di Al Azhar University, sebuah lembaga pendidikan yang telah berabad-abad di Kairo, Mesir.

Habib Saggaf mengambil jurusan Syariah, dan selama kehidupannya, beliau pernah menjadi pengurus pelajar mahasiswa di Kairo Mesir (1959-1963), yang dalam pengurusan itu banyak orang terkenal, di antaranya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prof. Quraish Syihab, dan sejumlah tokoh nasional lainnya, yang keduanya merupakan teman serta sahabat Habib Saggaf selama menempuh pendidikan di Mesir.

Selama menempuh pendidikan, Habib Saggaf telah di-daulat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, sebuah kepercayaan yang luar biasa, membuktikan bahwa kematangan bukan selalu menjadi patokan berdasarkan usia. Kebahagiaan Guru Tua sangat nampak ketika Habib Saggaf datang ke Palu setelah menyelesaikan pendidikannya, dan Guru Tua menuliskan syair khusus.

Dua pekan setelah sepulangnya Habib Saggaf, Guru Tua mengajaknya berjalan untuk melihat cabang-cabang Alkhairaat. Dalam perjalanan itu, Habib Saggaf melihat, mencatat, serta mendengarkan cerita umat dari pelosok-pelosok negeri. Hingga wafatnya Habib Idrus, Habib Saggaf menjadi nakhoda utama yang melanjutkan bahtera kelembagaan Alkhairaat.