PALU – Kiblat bukan hanya tentang arah tubuh, tetapi juga arah hati menuju Allah. Selama umat Islam yang berada jauh dari Ka’bah, sudah berusaha mencari arah kiblat yang benar, maka shalatnya akan diterima.
“Rahmat Allah itu lebih luas dari ketidaksempurnaan manusia,” demikian disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Habib Sayyid (HS) Ali bin Muhammad Aljufri, seperti dilansir dari kaidah.id, menanggapi hasil temuan mahasiswa Universitas Alkhairaat (Unisa) terkait sebagian besar masjid di Kota Palu yang tidak sesuai arah kiblat.
Habib Ali menjelaskan, arah kiblat dalam Islam memiliki kelonggaran tertentu, terutama bagi umat Islam yang tinggal jauh dari Ka’bah.
“Menghadap Ka’bah itu adalah syarat sah shalat. Tapi ada dua tingkatan yang perlu dipahami umat, yaitu ‘Ainul Ka’bah dan Jihatul Ka’bah,” tegas Habib Ali.
Habib menjelaskan, ‘Ainul Ka’bah adalah kewajiban menghadap langsung ke bangunan Ka’bah dan hanya berlaku bagi orang yang berada di dalam kawasan Masjidil Haram atau yang bisa melihat Ka’bah secara langsung.
Sementara Jihatul Ka’bah atau cukup menghadap ke arah umum Ka’bah, kata Habib, bisa menjadi rujukan bagi umat Islam yang tinggal jauh dari Makkah, seperti di Palu dan wilayah lain di Indonesia.
“Kita ini berada ribuan kilometer dari Ka’bah. Maka menghadap arah umumnya sudah cukup, tidak harus derajat demi derajat. Shalat tetap sah selama dilakukan dengan niat dan usaha yang benar,” jelasnya.
Habib juga menekankan bahwa jika terjadi pergeseran beberapa derajat ke kiri atau ke kanan dari Ka’bah, maka tidak membatalkan shalat.
Kata Habib, Ka’bah memiliki tinggi sekitar 13,1 meter, dengan sisi 12,86 meter x 11,03 meter. Dari jarak sekitar 8.000 kilometer seperti dari Palu ke Makkah, maka sudut toleransi arah kiblat menjadi cukup luas.
“Secara geometris, titik sasaran Ka’bah tidak harus mengenai tepat di tengah. Yang penting arah umumnya. Jadi kalau masjid kita bergeser sedikit, itu masih dalam batas toleransi,” ujarnya.
Pengasuh Majelis Asybaalul Khairaat ini mengutip sabda Rasulullah, yaitu “Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dulu para sahabat pernah shalat dalam gelap malam, tanpa tahu arah kiblat yang pasti. Setelah fajar, ternyata mereka keliru arah. Tapi Nabi tidak menyuruh mereka mengulang. Itu menunjukkan bahwa syariat datang untuk memudahkan, bukan menyulitkan,” jelas Habib Ali.
Meski demikian, Habib tetap mengajak umat Islam untuk tetap berhati-hati dan teliti dalam menentukan arah kiblat.
“Tapi jangan terjebak pada fanatisme teknis yang bisa mengganggu ukhuwah Islamiyah,” tutup Habib.