PALU – Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, bersama wakilnya, Reny Lamadjido melakukan audiensi bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulteng, Kamis (06/03).
Kepala Perwakilan BPKP Sulteng, Edy Suharto, hadir langsung dalam pertemuan tersebut untuk membahas pengelolaan potensi pajak.
Pada kesempatan itu, Gubernur Anwar Hafid menyampaikan pentingnya pengelolaan pajak dari perusahaan yang beroperasi di Sulteng, khususnya Morowali dan Morowali Utara.
Ia membandingkan kondisi di Sulteng dengan Kalimantan Timur yang mampu menyerap pajak dari perusahaan hingga Rp6 triliun, sementara di Sulteng penerimaannya masih jauh dari angka tersebut.
“Salah satu sumber pajak yang potensial adalah pajak kendaraan perusahaan yang belum dimaksimalkan. Kami ini punya dana bagi hasil yang sangat kecil. Selama ini, setiap kali berbicara soal pajak, selalu ada alasan investasi, seakan-akan kita tidak punya keberanian untuk menagih hak kita sendiri,” tegas Anwar Hafid.
Anwar Hafid mengajak BPKP untuk bergandengan tangan dalam mengelola potensi pajak di Sulawesi Tengah. Pihaknya akan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang berkewajiban membayar pajak dapat lebih sadar dan jujur dalam memenuhi tanggung jawab mereka kepada daerah.
Sementara itu, Kepala BPKP Sulteng, Edy Suharto, mengungkapkan, terdapat potensi penerimaan daerah sebesar Rp6-8 miliar yang belum terealisasi.
Beberapa sumber pajak yang belum tergarap maksimal antara lain pajak air permukaan sebesar Rp2 miliar dan pajak alat berat senilai Rp685 juta.
Ia juga menyoroti penetapan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dinilai masih terlalu rendah serta lemahnya sistem penghitungan potensi pajak.
Dalam evaluasi terhadap Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BPKP menemukan bahwa dari 10 BUMD yang ada di Sulteng, hanya tiga yang masih aktif, dua di Palu dan satu di Banggai.
Namun, ketiga BUMD tersebut dinilai masih belum berkontribusi secara maksimal terhadap perekonomian daerah.
Selain itu, BPKP mencatat bahwa selama enam tahun terakhir, mereka telah menangani 51 kasus penyimpangan administrasi di berbagai sektor.
Terkait investasi, Edy Suharto menyebut bahwa Morowali memiliki sekitar 102 ribu tenaga kerja lokal dan 19 ribu tenaga kerja asing.
Meskipun tingkat pengangguran terbuka di wilayah tersebut terus menurun, hambatan investasi masih terjadi, terutama dalam perizinan, keterbatasan SDM pelayanan, serta kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap sistem Online Single Submission (OSS).
BPKP juga menyoroti belum adanya regulasi yang jelas mengenai penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan ke sektor UMKM. Tidak ada analisis kebutuhan UMKM yang konkret serta basis data yang dapat dijadikan acuan.
Oleh karena itu, BPKP merekomendasikan pemerintah daerah untuk memperkuat koordinasi dengan Bappenas dalam memanfaatkan data nasional untuk program sosial ekonomi, memperbaiki tata kelola BUMD, serta menyusun perencanaan berbasis riset dan kebutuhan masyarakat. *