PALU – Gubernur Sulawesi Tengah, H. Anwar Hafid, menegaskan bahwa Bank Tanah hadir sebagai mitra strategis bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan lahan negara, terutama eks-HGU (Hak Guna Usaha) yang telah habis masa berlakunya. Hal itu ia sampaikan saat menerima audiensi Deputi Pemanfaatan Tanah dan Kerja Sama Usaha Bank Tanah, Hakiki Sudrajat, bersama jajaran, di Ruang Rapat Polibu, Kantor Gubernur Sulteng, Jumat (26/9).

Pertemuan inI dihadiri Wakil Gubernur dr. Reny Lamadjido, Kepala Kanwil BPN Sulteng Muhammad Naim, Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Eva Bande, serta sejumlah bupati dan wakil bupati dari berbagai kabupaten/kota. Selain membahas arah kebijakan pengelolaan tanah di Sulteng, audiensi ini juga menjadi forum untuk mendengar aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat.

Dalam arahannya, Gubernur Anwar Hafid menjelaskan bahwa lahan-lahan eks-HGU di Sulawesi Tengah menyimpan potensi besar untuk pembangunan. Jika dulu masyarakat tidak begitu meminati lahan tersebut karena dianggap kurang bernilai, kini kondisi berubah drastis. Lahan eks-HGU yang berada di dataran tinggi sekalipun, kata Anwar, justru menjadi rebutan karena semakin terbatasnya ruang kelola tanah.

“Kita harus bijak. Banyak masyarakat kita yang sudah lama tinggal di lahan eks-HGU. Pemerintah daerah ingin mereka tetap merasa aman dan punya kepastian. Karena itu, kami berharap kerja sama dengan Bank Tanah bisa memberi solusi yang adil,” ujar Gubernur.

Ia juga menekankan pentingnya peran lahan eks-HGU untuk kepentingan publik, mulai dari penyediaan lahan perumahan, pengembangan kawasan pertanian, hingga dukungan terhadap investasi yang memberi manfaat ekonomi. Menurutnya, pemerintah daerah sangat bergantung pada potensi sumber daya alam, termasuk tanah, karena transfer keuangan pusat ke daerah terus berkurang.

“Pendapatan asli daerah bisa tumbuh kalau BUMD ikut mengelola lahan secara produktif bersama mitra swasta. Itu sebabnya kami berharap Bank Tanah dapat memberi ruang bagi pemda untuk ikut serta,” tegasnya.

Deputi Bank Tanah, Hakiki Sudrajat, menyambut baik gagasan tersebut. Ia menegaskan bahwa Bank Tanah tidak hanya berfungsi sebagai pengelola aset negara, tetapi juga sebagai lembaga yang mencari jalan tengah antara kepentingan pembangunan dan kebutuhan masyarakat. “Kami ingin hadir sebagai solusi. Masyarakat yang sudah ada di dalam lahan akan tetap diperhatikan melalui program reforma agraria, sementara pemerintah daerah dapat memanfaatkan lahan yang sesuai untuk kepentingan umum,” jelas Hakiki.

Ketua Satgas PKA, Eva Bande, dalam paparannya menunjukkan data dan peta sebaran eks-HGU di beberapa kabupaten. Ia menyoroti adanya tumpang tindih antara peta Bank Tanah dengan peta BPN dan wilayah adat, yang berpotensi menimbulkan persoalan di lapangan. Eva meminta agar proses validasi dilakukan lebih cermat agar penetapan lahan benar-benar sesuai dengan kondisi riil masyarakat.

Suasana rapat semakin hidup ketika sejumlah perwakilan masyarakat dari Lembah Napu dan Poso menyampaikan pengalaman mereka. Mereka mengaku khawatir dengan kehadiran investor sebelum ada kejelasan status lahan. Warga berharap Bank Tanah memberi perlindungan hukum sekaligus menjamin akses mereka dalam program reforma agraria.

Menutup pertemuan, Gubernur Anwar Hafid kembali menekankan bahwa Bank Tanah adalah lembaga negara yang harus lebih dekat kepada rakyat dibanding pihak swasta. “Kalau sesama negara, kita pasti bisa duduk bersama. Saya percaya dengan komunikasi yang baik, semua pihak bisa tenang, masyarakat tidak perlu khawatir, dan pembangunan tetap berjalan,” kata Anwar.

Pertemuan ini menghasilkan komitmen untuk menindaklanjuti sejumlah data dan temuan teknis melalui koordinasi lebih detail antara Satgas PKA, BPN, dan Bank Tanah. Pemerintah provinsi juga akan memfasilitasi pertemuan lanjutan dengan pemerintah kabupaten untuk memastikan kepentingan masyarakat tetap terakomodasi. **