PALU – Aliansi Masyarakat Tambang (Alismata) Desa Hulubalang, Kecamatan Paleleh Barat, Kabupaten Buol, mendatangi DPRD Sulteng, Jumat (04/08). Mereka datang membawa sejumlah tuntutan terkait aktivitas pertambang yang dilakukan PT. Bina Daya Lahan Pertiwi (BDLP), di wilayah itu.
“Kami meminta kepada Gubernur agar segera menyikapi permasalahan yang kami alami. Sudah turun temurun kami menambang, sekitar 50 tahun lebih aktivitas ini kami jalankan dengan baik dan lancar demi memenuhi kebutuhan hidup kami. Jika dihitung-hitung kami ini generasi kelima yang meneruskan aktivitas penambangan, ujar Ketua Alismata, Arlan.
Namun, lanjut Arlan, belakangan datang perusahaan yang melakukan aktivitas yang sama serta mengklaim bahwa seluruh kawasan tambang, sudah masuk menjadi wilayah kelolanya.
Masyarakat, lanjut dia, tidak menolak keberadaan perusahaan tersebut, selama tidak berada di areal masyarakat.
“Puluhan tahun aktivitas kami menjadi tidak nyaman akibat cara-cara yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Padahal sejak awal kami sudah menyampaikan bahwa silahkan PT BDLP melakukan aktifitas tapi mohon jangan usik wilayah kelola kami selama ini,” tuturnya.
Olehnya, mereka meminta kepada Gubernur untuk memisahkan wilayah garapan antara masyarakat tambang dan perusahaan.
Mereka sengaja datang jauh-jauh ke Palu karena mereka tahu bahwa urusan dan kewenangan pertambangan ada di tangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng.
“Kemarin kami sudah diterima oleh Kadis ESDM Provinsi Sulteng, Bapak Elim Somba. Dan hari ini kami ke DPRD sebagai wakil kami, karena kami menilai banyak hal yang janggal terkait izin operasi yang dimiliki oleh PT BDLP,” tuturnya.
Sebagaimana penjelasan Kadis ESDM kepada mereka, salah satu pertimbangan dikeluarkannya izin oleh Gubernur, karena di lokasi tersebut tidak ada masyarakat.
“Ini yang kami tidak habis pikir, padahal kami disana sudah puluhan tahun beraktivitas. Semua tahu hal ini karena memang sudah ditugaskan oleh tokoh utama Buol, almarhum Bapak Karim Mbow tahun 1980-an silam, bahwa wilayah tambang ini adalah milik rakyat. Silahkan maanfaatkan untuk kebutuhan penghidupan rakyat,” imbuhnya.
Menyahuti permasalahan tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Muh. Masykur menegaskan, bahwa pihaknya sangat merespon permasalahan ini.
Hendaknya, kata dia, Gubernur Sulteng juga segera merespon dan melakukan langkah objekrif dan tidak berat sebelah.
“Kita tidak menghendaki atas nama kepentingan investasi, lantas hak rakyat diabaikan. Apalagi ada fakta historis yang amat mendalam disana. Puluhan tahun rakyat sudah melakukan aktifitas penambangan, sudah lima generasi menggantungkan hidup. Dan tentunya nilainya sudah tidak bisa diukur lagi, arti hidup dan kehidupan rakyat, khususnya di Desa Hulubalang,” urai Theo, sapaan akrabnya.
Ketua Fraksi NasDem DPRD Sulteng itu menambahkan, tambang rakyat sudah mendapat ruang dalam regulasi. Dalam Pasal 1 ayat 32 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian dari wilayah pertambangan dimana kegiatan usaha pertambangan rakyat dilakukan.
“Kami berharap Gubernur bersikap proporsional dan adil dalam merespon permasalahan ini. Tidak bijak memberi keleluasaan dan ruang kepada satu pihak sementara pihak lain diabaikan,” katanya.
Masykur menyatakan, persoalan itu akan dilaporkan ke pimpinan agar nantinya, komisi III bisa menindaklanjuti dengan cara mengundang para pihak yang terkait langsung dengan permasalahan ini, termasuk melakukan peninjauan di lapangan. (RIFAY)