Nama Gonenggati ada di mana-mana. Siapa sebenarnya Gonenggati itu? Pertanyaan itu muncul lagi di tengah masyarakat Donggala. Paling mutakhir sejak pembangunan pelabuhan di kawasan Anjungan Wisata Gonenggati dimulai dua bulan lalu.
Kawasan wisata di Kelurahan Kabonga Kecil, Kecamatan Banawa, Donggala itu sedang dialihfungsikan menjadi pelabuhan. Masalahnya, kawasan yang semula dipertuntukkan sebagai taman wisata berbasis ruang hijau kota itu baru sepuluh tahun difungsikan, lalu diubah peruntukannya sebagai kawasan pelabuhan.
Padahal, pemanfaatan kawasan ini sudah menelan anggaran puluhan miliar di jaman pemerintahan Bupati Donggala, Habir Ponulele (2006-2008 dan 2008-2013). Anggarannya ditambah puluhan miliar lagi di jaman Bupati Kasman Lassa. Sayangnya, belum digunakan secara maksimal, sudah mengalami kerusakan berat akibat gempa bumi tahun 2018.
Saat ini, kawasan tersebut tengah dikerjakan oleh PT WIKA, salah satu anak perusahaan BUMN dengan masa kontrak kerja satu tahun enam bulan. Pembangunan berdasarkan persetujuan antara Pemkab Donggala dengan Kementerian Perhubungan RI setelah melalui studi kelayakan.
Nama Gonenggati dipopulerkan Habir Ponulele saat menjabat Bupati Donggala bersama Ketua DPRD ketika itu, Ahmad S. Mardjanu.
Diawali pemberian nama pada Anjungan Wisata Jalan Lingkar di Kabonga yang kini dijadikan pelabuhan, kemudian persiapan nama STISIP (Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Gonenggati) yang menggunakan bekas gedung Sekolah Cina Donggala dan telah mendapat peninjauan dari Kopertis.
Belakangan dinilai belum memenuhi syarat dengan berbagai kekurangan administrasi dan fasilitas hingga STISIP Gonenggati pun tenggelam sebelum diresmikan.
Selain dipopulerkan lewat nama lembaga pendidikan, jauh sebelumnya Gonenggati telah dijadikan nama perumahan BTN di Kelurahan Kabonga Besar. Kemudian nama itu diabadikan sebagai nama Gelanggang Olah Raga (GOR) yang diresmikan masa Menpora, Andi Alfian Mallarangeng saat berkunjung ke Donggala, 12 April 2012 silam.
Sebelumnya juga ada rumah Gonenggati di Loli. Ada juga yang diabadikan menjadi nama Kelompok Tani Hutan (KTH) Mangrove Gonenggati di Kabonga Besar.
Mengapa Harus Gonenggati?
Kenapa mesti nama Gonenggati? Pertanyaan ini selalu mengemuka dalam berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang pendidikan dan kebudayaan di Donggala. Pemilihan nama tentu memiliki alasan dan nilai filosofi untuk spirit kemajuan sumber daya manusia lewat pendidikan.
“Pemberian nama Gonenggati itu telah melalui pertimbangan dan persetujuan orang-orang tua yang memahami tentang sejarah dan budaya keadatan serta lebih netral,” kata Bupati Donggala, Habir Ponulele ketika itu.
Beberapa sumber menyebutkan, Gonenggati adalah tokoh yang hadir jauh sebelum lahirnya Kerajaan Banawa. Ada pula yang menyebut pada masa awal terbentuknya Kerajaan Banawa.
Mengacu pendapat Latulli Laski (79), pensiunan guru dan mantan Kepala Desa Kabonga Besar, Kecamatan Banawa. Ia mengatakan, Gonenggati merupakan sosok perempuan yang memiliki pemikiran hebat zaman dahulu. Berdasarkan cerita turun-temurun, konon Gonenggati adalah tokoh pencetus Dewan Adat Pitunggota Tanah Kaili.
“Karena itu pemberian nama untuk sebuah perguruan tinggi atau fasilitas lainnya sangat tepat dan memiliki relevansi dengan nilai kearifan dalam menciptakan perdamaian di Tanah Kaili yang demokratis di zaman dahulu, sehingga dapat dijadikan spirit masa kini,” kata Latulli.
Ada lagi kisah berdasarkan versi Andi Bara Lamarauna (1938-2020). Ia mengidentifikasi bahwa ayah dari Gonenggati bernama Lapangandro yang merupakan cucu Sawerigading. Sawerigading sendiri merupakan tokoh sentral cerita (folktale) dalam epos I Lagaligo sastra Bugis sejak ratusan tahun silam menjadi kultur hero terdapat pada kebanyakan persekutuan hidup dan peradaban suku-suku bangsa Indonesia di Pulau Sulawesi.
Sawerigading dalam bahasa Kaili disebut Saverigadi yang dipercaya sebagai penguasa, cikal bakal lahirnya raja-raja di Sulawesi, termasuk di Tanah Kaili.
Sosoknya dikenal sangat luwes dalam pergaulan sosial dan memiliki pemahaman tentang tata pemerintahan. Selalu memberi masukan dan nasehat pada raja yang juga merupakan adik kandungnya. Sebagai cendekiawan kerajaan, ia banyak memberi sumbangsih pemikiran yang demokratis dan cemerlang.
Gonenggati sendiri merupakan anak pertama dari raja pertama di Banawa, I Bada Tassa. Namun Gonenggati tidak berambisi menjadi raja, meski lazimnya anak sulung memiliki peluang melanjutkan tampuk kekuasan dari orang tuanya. Tetapi hal itu tidak dilakukan karena kebesaran jiwa yang dimiliki dengan memberi peluang jadi raja (juga perempuan) berikutnya kepada adiknya yang bernama I Tassa Banawa (1552-1650).
Pada masa pemerintahan I Bada Tassa inilah terbentuk Pitungota sebagai dewan adat yang demokrasi dan modern. Dewan adat merupakan pemegang kekuasaan yang membantu raja menyelenggarakan pemerintahan dan segala persoalan di dalam dan di luar kerajaan. Sistem kerajaan di Tanah Kaili ini memiliki wilayah kekuasaan yang lebih luas.
Mereka terdiri dari tujuh orang menteri yang masing-masing menempati tujuh ngata (kampung) dalam satu kerajaan sebagai pelaksana tugas raja di tempat yang ditentukan. Semua anggota dewan adat masih kerabat dekat raja dan merupakan orang kepercayaan.
Berdasarkan catatan Andi Mas’ulun Lamarauna (1942-2000), menyebutkan, Gonenggati kawin dengan Tandelangi, seorang Magau Sindue. Dari perkawinan Gonenggati dengan Tandelangi itu lahir enam anak, salah satunya bernama Tobelo, putri cantik yang sangat kesohor sampai ke kerajaan lain.
Dalam kisah dituturkan, karena kecantikannya membuat salah satu putra raja dari Kerajaan Majapahit datang menemui dan akhirnya melamar Tobelo sebagai permaisuri. Konon, setelah perkawinan itu, putri Tobelo dibawa oleh suaminya dan menetap di Kerajaan Majapahit.
Menurut cerita, Gonenggati pada masa hidupnya menempati wilayah kekuasaan yang dinamai Kanggihui. Disanalah ia menjadi magau dan hidup makmur bersama rakyatnya.
Tempat tersebut berada di atas sebuah bukit masih wilayah Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa. Di sanalah Gonenggati dimakamkan, hingga kini dikeramatkan sebagain warga. Keberadaan makam tua ini merupakan artefak sejarah yang dipercaya menjadi jejak peradaban manusia yang cukup tua di Donggala.
Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay