PALU – Direktur Eksekutif Perkumpulan Skala, Trinirmalaningrum, mengatakan, berbagai dokumen penelitian yang telah ada terkait sesar Palu-Koro harusnya kembali dipelajari, dilakukan simulasi dan evaluasi setiap tahunnya.
“Termasuk penelitian yang dilakukan kami bersama dengan tim. Terjadinya bencana ini membuat kami menjadi miris sebagai seorang peneliti yang mengetahui hal tersebut, sehingga menjadi tanggung jawab moral,” katanya saat diskusi yang digelar di Sekretariat Yayasan Tanah Merdeka, Jalan Tanjung Manimbaya Kota Palu, Sabtu (17/11).
Dia mengatakan, pada tahun 2012, Badan Geologis Kementerian ESDM sudah melakukan penelitian terkait hal tersebut dan hasilnya telah disampaikan kepada pemerintah daerah pada tahun 2013.
“Berbagai penelitian lain juga ternyata sudah dilakukan, namun tidak ada tanggapan (dari pemerintah,” ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, berdasarkan kajian literasi terhadap nama-nama daerah di wilayah Provinsi Sulteng khususnya Palu, Sigi dan Donggala yang memiliki arti terkait terjadinya bencana di masa lampau. Nama-nama yang dimaksud termasuk Balaroa, Petobo dan Joni Oge, agar dapat dihindari kedepannya.
Ahli Geologi sekaligus Peneliti Sesar Palu-Koro, Reza Permadi, mengatakan, berkaitan dengan sesar Palu-Koro, terdapat berbagai penelitian, salah satunya adalah Kadek Tadarusman yang telah melakukan pada tahun 1980-an. Berbagai hasil dari penelitian tersebut diwajibkan untuk disampaikan kepada pemerintah daerah agar bermanfaat bagi daerah.
Namun, kata dia, dengan terjadinya bencana yang baru saja dialami, membuktikan adanya communication gap antara Pemda dengan masyarakat, karena laporan dari hasil penelitian tidak tersampaikan kepada masyarakat maupun pengembang properti.
Dia mengatakan, dalam penyampaian populer agar dengan mudah dipahami, sesar merupakan sesuatu lempeng bumi yang bergerak dan patah sehingga mengalami perubahan posisi. Sementara lempeng bumi yang tidak mengalami perubahan posisi dan hanya patahan disebut sebagai kekar.
“Sesar sendiri terdapat 3 jenis, yakni sesar naik, sesar turun dan sesar geser. Di Lombok merupakan sesar naik sementara di Palu merupakan sesar geser. Rumah yang berada pada garis sesar geser dipastikan akan hancur,” katanya.
Dalam hal ini, kata dia, sesar Palu-Koro merupakan sesar dengan pergerakan paling cepat se-Indonesia yakni maksimum 45 milimeter per tahun. Hal tersebut menempatkan sesar Palu-Koro setara dengan sesar San Andreas, Amerika.
“Berdasarkan hasil ekspedisi lapangan yang telah dilaksanakan pasca terjadinya bencana 28 September 2018, menemukan adanya patahan yang bergerak atau bergeser hingga mencapai 5,5 meter pada segmen Saluki. Selain itu pada Jalan Cemara wilayah Kelurahan Balaroa juga mengalami pergeseran sejauh 5,5 meter. Hal ini berarti bahwa jalur sesarnya sudah dapat dipetakan,” katanya.
Perlu diketahui, kata dia, dalam tubuh sistem sesar Palu-Koro, terdapat empat segmen di dalamnya, yakni segmen Palu, Saluki, Moa dan segmen Malui.
Pada bencana yang terjadi pada 28 September 2018, terdapat dua segmen yang bergerak, yakni segmen Palu dan Saluki dengan pergerakan yang cukup signifikan. (IKRAM)