“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”…

Mandor Hakim, begitu sapaan akrab H.Abdul Hakim H.Golo, yang familiar dikalangan masyarakat kota Donggala, terlebih mereka apalagi yang menggeluti bidang kepelabuhanan maupun ekspedisi barang serta pengusaha di Donggala.

H. Abdul Hakim, merupakan salah satu tokoh buruh dan mandor yang sudah lama beraktivitas di pelabuhan Donggala, bahkan sampai pelabuhan tersebut meredup.

Kini, tokoh mandor generasi terakhir kejayaan Pelabuhan Donggala itu telah berpulang ke rahmatullah, Jumat (10/5), setelah dirawat disalah satu rumah sakit di Kota Palu beberapa waktu yang lalu.

Ia dimakamkan, Sabtu (11/5), Identitasnya sebagai mandor sangat melekat dan menjadi memori kolektif bagi warga kota Donggala dari kalangan generasi tua seangkatannya maupun generasi muda.

Memiliki riwayat hidup yang heroik dan penuh lika-liku, dirinya datang ke Kota Donggala hanya bermodalkan nekad, tanpa tujuan yang jelas dan secara tidak sengaja. Ia ibarat seorang “pelarian” tanpa arah hendak kemana, Menumpang kapal Lengkeng, kapal besi bertonase 500 ton dari pelabuhan Pare-Pare tujuan pelabuhan Donggala.

“Pokoknya waktu itu, saya naik begitu saja di kapal dengan harapan kemana tujuan kapal nantinya berlabuh, maka di situlah saya akan turun. Ternyata pelabuhan yang dituju adalah Donggala dan saat itulah saya turun, tidak ada orang yang saya kenal dan bagaimana nantinya saya tinggal, tidak saya pikirkan,” Cerita Abdul Hakim ke Media Alkhairaat, Senin 24 Oktober 2016 yang lalu.

Saat turun dari kapal bukannya tanpa hambatan, ternyata menginjakkan kaki di pelabuhan langsung diciduk petugas KP3 pelabuhan Donggala. Ia mengaku diinterogasi karena bukan saja termasuk penumpang gelap, tapi juga tanpa identitas dan tujuan jelas.

Setelah menjalani hukuman penahanan sehari semalam, Abdul Hakim yang kala itu masih berusia remaja akhirnya dibebaskan dengan sejumlah syarat. Hari demi hari menyesuaikan diri dengan situasi pelabuhan dan mulai banyak kenalan dari kalangan buruh dan mandor pelabuhan.

Salah satu mandor pelabuhan yang dikenalnya adalah Husen Gantele yang tinggal di Labuan Bajo. Husen Gantele merupakan pengurus Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan memiliki beberapa wakil, yaitu Makarau, Lasalai dan Ali Samaila, dari perkenalan itulah Abdul Hakim mulai menjadi buruh pikul barang di pelabuhan Donggala.

Abdul Hakim lahir di Sidrap, Sulawesi Selatan, pada  5 Maret 1953 yang saat ini ia sudah berusia 66 tahun. Dalam kurung waktu usia tersebut, aktivitasnya dihabiskan 27 tahun berkutat di pelabuhan sebagai buruh kasar hingga menjadi mandor.

menurutnya, kejadian itu merupakan kenangan sekitar 48 tahun silam, meninggalkan kampung halaman setelah setahun menyelesaikan pendidikan terakhir di SMEA Negeri Sidrap tahun 1969. Pencapaian sebagai mandor terbilang cepat di antara kawan sejawatnya.

Hanya setahun jadi buruh pikul yakni pada tahun (1971-1972), ia langsung mendapat kepercayaan memimpin kelompok regu kerja di bawah komando Mandor Djafar (ayahanda Wakapolres Donggala, Abubakar Djafar), setahun kemudian Abdul Hakim langsung memimpin kelompok sendiri.

Ketika aktivitas utama pelabuhan Donggala dialihkan ke Pantoloan, mandor Hakim sempat beraktivitas di sana selama enam tahun (1979-1985). Kembali ke pelabuhan Donggala tahun 1986 sekaligus menjadi pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Cabang Donggala.

Sedangkan jabatan yang terakhir Abdul Hakim menjadi pengurus Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Mutiara Donggala saat terbentuknya untuk yang pertama tahun 1992.

Seiring aktivitas pelabuhan kian lesu, Abdul Hakim mundur dari urusan perburuhan tahun 1998.  Ia beralih ke usaha jual beli beras dan ternak ayam yang hingga kini tetap ditekuninya.

Pada tahun yang sama, Abdul Hakim menunaikan ibadah Haji yang hingga kini, ia akrab disapa Haji Hakim.

Dalam riwayat hidupnya, Abdul Hakim menikah dengan Hj. Mare yang dikaruniai dua orang anak Hasnawati dan Hartini. (JAMRIN ABUBAKAR)