OLEH: Nur Indah Ulfanny*
Kasus tragis seorang remaja berusia 14 tahun yang tega membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus mengguncang hati nurani masyarakat. Fenomena ini bukan hanya kejadian yang berdiri sendiri, tetapi gejala dari persoalan sistemis yang lebih dalam.
Peristiwa semacam ini mencerminkan rusaknya fitrah manusia akibat sistem kehidupan yang gagal membina kepribadian individu dan menjaga kesehatan mental generasi muda.
Fenomena tersebut memunculkan berbagai pertanyaan mendasar: Apakah sistem yang ada saat ini benar-benar mendukung pembentukan karakter generasi? Apakah pendidikan telah diarahkan pada tujuan mencetak manusia yang unggul?
Kejadian ini menunjukkan adanya krisis moral yang serius di kalangan generasi muda. Dalam beberapa tahun terakhir, berita mengenai kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak terhadap orang tua atau sesama terus bermunculan.
Media sering kali mengabadikan fenomena ini sebagai peristiwa mengejutkan, tetapi hal ini tidak pernah mengarah pada diskusi mendalam mengenai akar masalahnya.
Kenyataan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari pola hidup generasi muda menunjukkan adanya kegagalan dalam membangun fondasi nilai yang kokoh.
Berakar dari Sistem
Sistem pendidikan yang berjalan saat ini tampaknya hanya berfokus pada aspek akademik, dengan mengabaikan pembinaan moral dan spiritual. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan kemampuan intelektual yang mungkin memadai, tetapi rapuh secara moral dan emosional.
Kurikulum yang disusun lebih sering diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja daripada membentuk manusia yang berkepribadian mulia.
Pendidikan kehilangan arah untuk menjadi sarana transformasi individu menjadi manusia yang utuh, yakni manusia yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berintegritas.
Selain sistem pendidikan, lingkungan sosial yang terbentuk dalam masyarakat modern juga menjadi salah satu penyebab kerusakan moral generasi muda.
Budaya pop yang sarat dengan kekerasan, baik melalui media, film, maupun permainan digital, telah menjadikan kekerasan sebagai sesuatu yang normal.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini belajar untuk menerima kekerasan sebagai solusi dari masalah. Sayangnya, kontrol terhadap pengaruh negatif media ini sangat minim, dan tidak ada upaya serius untuk menciptakan alternatif yang lebih baik.
Negara, yang seharusnya berperan sebagai pelindung rakyatnya, sering kali hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Peran negara sebagai pengurus atau raa’in, sebagaimana diajarkan dalam Islam, tidak terlihat dalam kebijakan pendidikan dan sosial yang ada saat ini.
Alih-alih memberikan perhatian serius terhadap pembentukan generasi muda, negara lebih sibuk dengan urusan administratif dan efisiensi anggaran. Pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama sering kali menjadi korban dari sistem kapitalistik yang memandangnya sebagai komoditas.
Islam Satu-satunya Solusi
Islam menawarkan solusi menyeluruh untuk mengatasi krisis ini. Dalam Islam, pendidikan bukan hanya sarana untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga alat untuk membentuk karakter yang beriman, bertakwa, dan memiliki akhlak mulia.
Pendidikan diarahkan untuk mencetak individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. Dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, setiap individu diajarkan untuk memahami peran mereka sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di bumi.
Pendidikan dalam Islam juga menekankan pentingnya keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama.
Hal ini terlihat dari sejarah panjang peradaban Islam, di mana ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Ibnu Khaldun tidak hanya menguasai ilmu duniawi tetapi juga memiliki kedalaman spiritual.
Mereka mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama dalam kehidupan mereka, yang pada akhirnya membawa manfaat besar bagi masyarakat.
Selain itu, Islam juga mengajarkan pentingnya menciptakan lingkungan sosial yang sehat. Lingkungan sosial yang baik tidak hanya tanggung jawab individu, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan negara.
Dalam Islam, keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak, di mana nilai-nilai keimanan dan akhlak mulai ditanamkan. negara, sebagai pemimpin masyarakat, juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi generasi muda dari pengaruh buruk dan memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung pembentukan karakter yang mulia.
Kepemimpinan dalam Islam menempatkan pemimpin sebagai raa’in yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya.
Negara harus memastikan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk mencetak tenaga kerja, tetapi juga menjadi sarana untuk membentuk manusia yang berkepribadian mulia.
Negara juga wajib melindungi generasi muda dari pengaruh buruk globalisasi, termasuk dari media dan budaya asing yang merusak.
Dengan pendidikan berbasis akidah Islam, lingkungan sosial yang sehat, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab, generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang beriman, bertakwa, dan memiliki akhlak mulia.
Solusi ini bukan hanya untuk mengatasi krisis moral generasi muda, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, adil, dan berperadaban tinggi.
Kini saatnya kita memulai perubahan ini, dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan begitu, kita dapat membangun generasi yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga mulia secara moral dan spiritual, sehingga mampu menjadi pilar peradaban yang gemilang.
*Penulis adalah Pendidik dan Pemerhati Generasi