Yogyakarta- Pasca pelaksanaan Debat Capres-Cawapres diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ternyata riset mitigasi kerentanan informasi pemilu masih menunjukan adanya peningkatan penyebaran gangguan informasi seperti misinformasi, disinformation, dan mal informasi di masyarakat.

Ini juga tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 dilaksanakan dalam situasi akses publik terhadap internet semakin meningkat.

Dari jenis-jenis gangguan kerentanan informasi tersebut, kelompok paling banyak mendominasi adalah kelompok muda merupakan generasi milenial dan generasi centennial (Gen Z). Kedua kelompok tersebut menjadi paling banyak mengalami kerentanan gangguan informasi. Ini berbanding lurus dengan tingginya akses kedua kelompok tersebut terhadap internet dibanding kelompok lainnya.

Perkembangan media sosial memberi dampak sulit dihindari. Dampak positif perkembangan media seharusnya membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi, justru berbanding terbalik dengan kesadaran masyarakat untuk mendapatkan informasi positif.

Faktor ini juga membuat mereka mengalami paparan terhadap informasi (information exposure) hingga mengalami keberlimpahan informasi (information overload).

“Pola penyebaran hoaks ini dilakukan secara terstruktur, dan banyak melibatkan buzzer yang disewa secara profesional oleh kelompok-kelompok capres-cawapres. Kami menemukan ini di ketiga pasangan,” ujar Direktur Eksekutif Medialink Ahmad Faisol di Yogyakarta Jumat (15/12).

Lebih jauh Ahmad Faisol menuturkan, penyebaran informasi hoaks ini semakin meningkat pasca debat putaran pertama diselenggarakan KPU lebih menargetkan kelompok muda menjadi ceruk terbesar dalam pemilu sekarang.

“Mereka menyasar kelompok muda ini, dan menganggap mereka sebagai kelompok undecided voters,” lanjutnya.

Walau pun dari segmen elektoral sudah terbentuk soliditas pilihan dan dukungan, para penyebar hoaks ini masih melihat adanya potensi perubahan suara terutama pada kelompok pemilih muda.

“Penelitian kita lakukan memperkuat kecenderungan tersebut” tegas Faisol.

Upaya mitigasi penetrasi internet tinggi menjadi tantangan dalam upaya mitigasi dan prevensi penyebaran gangguan informasi dan menjadi tanggung jawab elemen pentahelix. Tugas ini tak hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara dan peserta pemilu semata, tapi harus menjadi tugas masyarakat pada umumnya.

Medialink bekerja sama dengan LinkDeHAM Yogya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan program pelatihan literasi digital di kalangan muda dan kampus.

Program ini diharapkan menjadi langkah awal bagi kelompok muda untuk menjadi early warning system agar mereka dapat membedakan mana informasi valid dan mana hoaks sehingga mereka mengukur potensi-potensi penyebaran misinformasi, serta dapat mencegahnya sebelum misinformasi tersebut beredar.

Ahmad Faisol menegaskan, walaupun langkah ini merupakan bentuk gerakan moral, menurutnya, gerakan seperti ini harus lebih banyak dilakukan oleh elemen-elemen lainnya juga agar terbentuk masyarakat sadar dan bijak dalam menggunakan akses internet.

“Kita harus menanamkan kesadaran itu di masyarakat. Penggunaan media sosial paling banyak menyasar kelompok muda juga harus lebih bijak dan positif sehingga dapat mengedukasi publik,” ujarnya.

WhatsApp menjadi salah satu platform paling banyak digunakan oleh kelompok muda, dan menjadi aplikasi dengan tingkat penyebaran hoaks paling masif. Selain, isu kesehatan, isu hoaks politik merupakan informasi paling banyak disebarkan melalui platform ini, dan sebagian besar penggunanya adalah generasi milenial dan centennial (Gen Z).

Kondisi ini tentu berdampak bahaya bila kedua kelompok tidak memiliki dan mendapat pemahaman baik mengenai cara bijak dalam menggunakan akses layanan internet dan media sosial. Kemampuan literasi lemah dan tidak melakukan konfirmasi mendorong orang mudah percaya dan kemudian menyebarkan hoaks tersebut ke jaringan lebih luas.

“Kurangnya literasi penggunaan media sosial baik, memicu hoaks dengan mudah menyebar luas. Ingat, hoaks ini memiliki kecepatan enam kali lebih cepat penyebarannya bila dibanding dengan informasi biasa,” tegas Ahmad Faisol.

Senada dengan Ahmad Faisol, Kordinator Cek Fakta Adi Marseila melihat bahwa kurangnya literasi positif terhadap informasi beredar membuat kalangan muda menjadi sumber penyebar.

“Mereka menjadi salah satu penyebar hoaks, karena lemahnya pemahaman literasi,” kata Adi Marseila.

Untuk itu pihaknya menyambut baik pihak-pihak memiliki concern untuk memberikan edukasi dan literasi digital di masyarakat dan kampus.

“Ini menjadi tugas kita bersama membangun masyarakat sadar pentingnya informasi-informasi sehat”, tutupnya. (*/IKRAM)