JAKARTA- Pemilu 2024 tinggal menghitung hari, dan hingga kini masyarakat kita masih disajikan dengan banyaknya informasi-informasi hoaks. Bahkan, perlu diketahui tingkat penyebarannya enam kali lebih cepat melalui platform media sosial.

Direktur Eksekutif Medalink Ahmad Faisol mengatakan, harus diakui, perkembangan media sosial mengalami perkembangan pesat di masyarakat memberi dua dampak sulit dihindari.

Dia juga mengatakan, dampak positif perkembangan media, seharusnya membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi, justru berbanding terbalik dengan kesadaran masyarakat untuk mendapatkan informasi positif.

Dampaknya, di masyarakat terjadi disrupsi informasi. Kini, banyaknya infomasi beredar dan tersebar membuat publik sulit membedakan antara informasi valid, dengan informasi menyesatkan. Celakanya, justru informasi-informasi menyesatkan tersebut sering jadi bahan rujukan.

Menurutnya, informasi-informasi menyesatkan atau sering disebut sebagai hoaks/fake news kini menjadi masalah serius, dampaknya bisa mengancam soliditas demokrasi. Melalui platform medsos pertumbuhannya amat cepat, informasi-informasi jenis ini berpindah enam kali lebih cepat dibanding informasi valid.

Ia menerangkan, sebagai pengguna media sosial terbesar, generasi milenial dan generasi centenial (Gen Z) adalah dua kelompok paling banyak menerima informasi hoaks tanpa ada filterisasi. Watak medsos memiliki karakter partisipatif dan berjejaring, sehingga menjadi medium paling efektif dalam penyebaran hoaks, karena siapa pun dapat mengirim pesan dan informasi tanpa dapat dicegah atau disensor oleh siapa pun. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan membahayakan mereka.

“Generasi muda dalam ancaman bahaya besar bila tak segera dilakukan upaya positif. Ini tanggung jawab elemen pentahelix, semua stakeholder harus urun rembuk memecahkan problem ini,” ujar Ahmad Faisol di Jakarta, Sabtu (9/12).

Menurut Faisol, bila peredaran hoaks di masyarakat tak segera ditangani secara serius bukan tak mungkin mengancam integrasi masyarakat. Untuk itu, Medialink memandang pentingnya menciptakan mekanisme positif bagi anak muda agar dapat membentengi paling efektif dalam penyebaran hoaks karena siapa pun dapat mengirim pesan dan informasi tanpa dapat dicegah atau disensor oleh siapa pun. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan membahayakan mereka.

Untuk itu, Medialink bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Universitas Muhamadiyah Prof. DR. Hamka (Uhamka) mengadakan seminar dan pelatihan literasi digital di kalangan geerasi muda.

Harapannya, melalui program tersebut generasi muda memiliki literasi cukup dan positif atas setiap informasi didapat.

Melalui pelatihan-pelatihan dan diskusi literasi digital seperti ini juga diharapkan. generasi muda berperan menjadi agen “Hoax Buster” (Pembasmi Berita Bohong) yang beredar di berbagai platform media.

“Bagaimana mereka mau menjalankan fungsinya sebagai pembasmi hoaks kalau mereka sendiri tidak paham dengan prosedur dan teknisnya. Untuk itu kita coba terjun ke kampus- kampus guna menanamkan kesadaran ini,” tambah Faisol.

Menurut Faisol, generasi muda memang harus selalu diingatkan tentang pentingnyal bermedia sosial dengan baik dan bijak. Bila mereka tak bijak, rentan menjadi penyebar informasi tidak benar. Dan itu sangat bahaya bukan saja bagi mereka, tapi juga bagi masyarakat umumnya.

Senada dengan Faisol, Ketua Bidang Data & Informasi AJI Bayu Wardhana melihat perlunya digalakkan program-program seperti ini di kampus.

Menurtnya, apa dilakukan Medialink menjadi nilai tambah bagi lembaga-lembaga sebelumnya juga bergerak di isu ini.

“Kita semua tergerak untuk turun ke kampus-kampus memberi literasi digital dan pelatihan praktis agar mereka memiliki kemampuan memilah antara berita benar dan mana yang keliru.” katanya pada kesempatan sama.(**/IKRAM)