PALU – Anggota DPRD Sulteng Muhammad Masykur mempertanyakan kredibilitas PT Astra Agro Lestasi Tbk yang selama ini dicitrakan sebagai perusahaan yang bersahabat dengan lingkungan, baik alam maupun sosial.

Korporasi raksasa sawit ini telah mengantongi banyak sertifikat, seperti ISPO, PROPER Hijau, SRI-KEHATI, ISO 14001, dan OHSAS 18000.

Namun bagi Masykur, sertifikat-sertifikat yang dimaksud tidak berbanding lurus dengan tindakan kriminalisasi yang dilakukan salah satu anak perusahaan tersebut kepada petani di Kecamatan Riopakava Kabupaten Donggala.

“Terhitung setahun terakhir ini, sudah lima petani yang mereka laporkan ke Polres Pasangkayu, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat,” ungkap Masykur.

Masykur menyebut kasus terakhir yang dialami Hemsi alias Frans, petani asal Desa Panca Mukti, Kecamatan Riopakava, Kabupaten Donggala, yang dituduh oleh PT. Mamuang (anak perusahaan PT Astra), mencuri kelapa sawit di atas tanahnya sendiri.

“Tuduhan yang mengangkangi akal sehat dan rasa keadilan kita,” ketusnya.

Bagaimana mungkin, kata dia, Hemsi dituduh mencuri, sementara dari tangan dan keringatnya menanam kelapa sawit di lahan miliknya sendiri, berdasarkan bukti SKPT yang dikeluarkan kepala desa setempat.

“Sangat ironis, aparat kepolisian Pasangkayu nampak responsif dalam menangani laporan tersebut, tanpa sedikitpun melihat fakta terbaru terkait sengketa lahan yang selama ini diklaim oleh PT. Mamuang sebagai wilayah Hak Guna Usaha (HGU),” tuturnya,

Fakta yang dimaksud adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Nomor: 60 Tahun 2018 tentang Batas Daerah Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat dengan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

“Sikap yang ditunjukkan perusahaan tersebut membuka tabir gelap betapa rakusnya raksasa sawit mencaplok lahan milik warga petani, hingga memanfaatkan instrumen hukum untuk mematikan  sumber penghidupan petani di Kecamatan Riopakava,” katanya.

Begitu mudahnya, lanjut dia, korporosi besar melaporkan petani dengan tuduhan mencuri, sementara fakta lapangan tidak seperti yang dituduhkan.

“Sehingga tidak salah jika kita mengecam praktik aparat penegak hukum yang tanpa empati dan rasa kemanusian menangkap Hemsi yang sedang berada di rumah sakit menemani istrinya menjalani proses persalinan operasi Caesar,” kesalnya.

Hemsi bersama petani Riopakava lainnya yang jadi korban kriminalisasi PT. Mamuang merupakan cerminan buruk praktek penguasaan lahan yang menghalalkan segala cara, tutup Masykur.

Pekan lalu, aparat Polres Pasangkayu, menangkap seorang warga Kabupaten Donggala, Hemsi, saat sedang mendampingi istrinya, Selvi (39) yang baru saja menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Balai Keselamatan (BK), Jalan Woodward, Kelurahan Lolu Selatan, Kecamatan Palu Timur.

Pria yang sudah dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) itu ditangkap dengan tuduhan pencurian buah sawit di lahan milik PT. Mamuang, Afdeling C, Desa Panca Mukti, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala.

Ditemui di RS BK, Hemsi mengaku dituduh oleh PT. Mamuang mencuri buah sawit  di lahan HGU perusahaan tersebut.

Padahal, kata dia, lahan itu telah lama dikuasai dan diolahnya, sebelum perusahaan tersebut masuk.

Dia pun merasa janggal karena justru pihak Polres Mamuju yang menetapkan dirinya sebagai tersangka.

“Apa yang menjadi dasar hukumnya sementara lahan tersebut masuk dalam wilayah administratif Sulteng dan di kebun milik saya sendiri. Ada bukti Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT),” katanya.

Dia mengaku telah menempuh jalur praperadilan atas penetapan dirinya sebagi tersangka.

“Tiba-tiba semalam datang dan dinyatakan DPO,” katanya. (RIFAY)