PALU – Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), telah menyelesaikan tugas-tugasnya, beberapa hari yang lalu.

Tim yang terdiri dari kelompok akademisi, Dinsos dan beberapa elemen lainnya itu, secara khusus bertugas mengkaji kelayakan persyaratan gelar Pahlawan Nasional untuk Pendiri Perguruan Islam Alkhairaat, Habib Sayyid Idrus bin Salim (SIS) Aljufri.

TP2GD sendiri sudah memberikan catatan-catatan yang bersifat teknis kepada Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk disempurnakan agar dokumen usulan betul-betul paripurna, baik dari sisi substansi maupun hal-hal teknis lainnya.

Dr. Lukman Nadjamuddin

“Kita sudah rekomendasikan kepada Dinas Sosial untuk segera dikomunikasikan ke Gubernur agar segera membuat pengusulan ke Kementerian Sosial (Kemensos),” ujar Anggota TP2GD, Dr. H. Lukman Nadjamuddin kepada media ini, Kamis (17/03).

Kata dia, semua anggota TP2GD menyatakan bahwa ulama yang akrab disapa Guru Tua itu memang layak untuk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebab, lanjut dia, semua syarat yang dibutuhkan sudah dipenuhi,.

Ia juga menjelaskan isi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 yang mengatur syarat kewarganegaraan bagi penerima gelar Pahlawan Nasional. Menurutnya, dalam undang-undang itu tidak semata-mata menyebutkan bahwa yang bersangkutan adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

“Di dalam UU tersebut terdapat kata “atau” seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI. Jadi kata atau itu ada pilihan. Saya kira secara administratif Guru Tua sudah memenuhi syarat. Apalagi beliau ini bukan murni orang di luar negara Indonesia. Ibunya itu darah Bugis. Jadi dari sisi itu sebetulnya sudah masuk kategori WNI,” jelasnya.

Menurutnya, fakta bahwa SIS Aljufri memiliki darah Indonesia adalah bukti baru yang bisa menjawab ketika ada yang mempertanyakan status kewarganegaraan yang bersangkutan.

Ia menjelaskan bahwa di Indonesia ini, status kewarganegaraan bisa dilihat dari dua hal. Yang pertama adalah tempat kelahiran dan kedua dari garis keturunan.

“Misalnya Eduard Douwes Dekker, meskipun dia orang Belanda, tapi lahirnya di Indonesia. Begitu juga John Lie, orang China namun lahir di Manado, kemudian A.R. Baswedan keturunan Arab yang lahir di Surabaya, sudah dianggap sebagai WNI,” terangnya.

Kemudian dari garis keturunan, lanjut dia, juga menjadi satu faktor untuk penentu status kewarganegaraan. Seperti SIS Aljufri, walaupun lahir di Hadramaut, Yaman, namun ia adalah keturunan dari Indonesia, ibunya adalah orang Wajo, Sulawesi Selatan

“Jadi soal kewarganegaraan Guru Tua ini tidak perlu lagi diperdebatkan. Intinya beliau adalah warga negara Indonesia berdarah Wajo dari sisi keturunan. Sudah tidak diragukan lagi, sudah ada beberapa penelitian yang membuktikan itu,” tekannya.

Dosen Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tadulako (Untad), menambahkan, pihaknya sendiri sudah dua kali dilibatkan dalam pengusulan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional. Sebelumnya, pihaknya sudah memberikan catatan dan dikembalikan kepada pengusul agar disempurnakan.

“Sekarang sudah lengkap sudah siap untuk dikirim ke Kemensos. Perjuangan sekarang adalah tinggal bagaimana di Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat yang menilai kelayakannya,” katanya.

Tentunya, lanjut dia, setelah Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat bersidang, maka akan melakukan verifikasi lapangan melihat bukti-bukti yang telah dilampirkan dalam dokumen usulan, seperti penamaan bandar udara, penamaan jalan, dan penamaan-penamaan di fasilitas umum lainnya.

Ia pun menguraikan mekanisme pengusulan gelar tersebut, sampai mendapatkan persetujuan dari Presiden. Menurutnya, setelah Tim Pengkaji Pusat melakukan evaluasi dan dipandang layak, maka akan diusulkan ke Dewan Gelar yang diketuai oleh Menko Polhukam, Mahfud MD.

“Kemudian Dewan Gelar bersidang dan menilai, lalu menyerahkan hasilnya kepada Presiden. Jadi Presidenlah yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan,” terangnya.

Ia berharap agar semua tahapan itu bisa terlewati dan tidak ada masalah lagi. Ia meyakini, tidak ada lagi masalah dengan persyaratan untuk SIS Aljufri.

“Kita berdoa supaya bisa ditetapkan, karena dari sisi substansi tidak ada yang meragukan. Apa bedanya Achmad Dahlan dengan Muhammadiyah, demikian juga KH Hasyim Asy’ari dengan Nahdlatul Ulama (NU). Begitu pula Guru Tua dengan Alkhairaat yang perjuangannya juga melintasi batas wilayah, seperti Kalimantan, Papua, Maluku dan Sulawesi Tengah, dan sekarang masih kelihatan napak tilas perjuangannya,” tuturnya.

Kata dia, dengan adanya pahlawan nasional di daerah, maka bisa membuktikan bahwa daerah ini secara nyata berkontribusi melahirkan tokoh-tokoh yang mempunyai dedikasi, pengabdian dan komitmen terhadap kebangsaan. (RIFAY)