Laporan: Ikerniaty Sandili

BAGIAN tengah taman kota Banggai Laut (Balut), tepat di depan (agak ke kiri) panggung, orang-orang berdesakkan  menyaksikan lomba gasing, salah satu permainan tradisional yang dalam bahasa ibu disebut sosul (baca: sosuul). Di sebelah kerumuunan penonton lomba gasing, para suporter lomba hadang atau lomba kalar (bac: kalaar)—dalam pengucapan sehari-sehari orang Banggai—tidak kalah ramai menyoraki yang berada di dalam arena lomba, pada Festival Malabat Tumbe/Mombawa Tumpe 2022, Jum’at, 2 Desember lalu.

Lomba Gasing dimenangkan Sulaiman Pasono, dengan gasingnya yang berwarna kuning keemasan, mewakili Kecamatan Banggai Tengah. Sulaiman tinggal di Desa Adean dan membuat gasing untuk lomba tersebut selama satu hari satu malam, satu pekan sebelum lomba dilangsungkan. 

Pria 69 tahun itu sudah beberapa kali memenangkan lomba gasing. Tahun 2021 ia mendapatkan juara 1 lomba gasing yang diadakan di Luwuk-Banggai, dan tahun 2004 di Banggai.

Sulaiman memakai jam tangan silver, baju bergaris dengan didominasi warna coklat susu, celana olahraga biru dongker, bergaris putih dan ikat kepala merah, bersiap melempar gasingnya. Gasingnya berputar cepat sekali dan bertahan lama ketika gasing yang lain mulai melambat. Penonton kembali bersorak dan berlari ke dekat gasing Sulaiman. Panitia dan petugas keamanan sampai sedikit kesulitan menertibkan penonton lomba gasing.

Satu kelompok bertanding dan Sulaiman memenangkan juara. Ketika pertandingan final, pemenang semua kelompok atau tim yang dibagi panitia, gasing Sulaiman juga unggul. Di sela-sela menunggu penerimaan hadiah, saya mendekat pada Sulaiman. Sedikit kikuk ia menjawab beberapa pertanyaan saya.

“Gasing saya buat sendiri dengan menggunakan kayu tabuali, kayu yang keras. Talinya saya pakai tali rafia (yang sudah dipuntir). Saat latih-latihan (berlatih), saya rencana memang harus juara satu, jadi harus berlatih kuat. Saya ikut lomba gasing karena hobi,” ucap Om Sulaiman sesaat sebelum menerima piala juara lomba yang diserahkan Bupati Balut.

Sulaiman menerima piala dan uang tunai (Foto: Iker)

Sementara itu, Ahmad Abuhadjim keluar masuk arena tanding gasing. Ia bebincang dengan panitia dan kembali nampak sibuk. Ahmad dipanggil Om Mat, tokoh adat dan yang dituakan dalam permainan gasing. Begitu melihat ada cela, saya mendekat dan memperkenalkan diri.

Kami berteduh dari terik di bawah tenda. Om Mat mulai bercerita, namun suaranya timbul tenggelam kalah dengan suara dari panggung yang mengarahkan para peserta lomba gasing dan lomba hadang. Saya kemudian meminta izin bertandang ke rumah Om Mat, di Desa Timbong, berjarak kurang lebih 5,2 km dari taman kota Banggai.

Permainan gasing ini dibawa oleh Abu Kasim zaman dahulu, kata Om Mat.  Ceritanya, bapak Abu Kasim, Adi Cokro atau Adi Soko dalam pelafalan orang Banggai, kembali ke Jawa setelah menikahi Nur Sapa, ibu Abu Kasim. Kepergiannya menyebabkan kekosongan pemimpin dalam pemerintahan Keraton Banggai, dan hal itu membuat Basalo Sangkap pusing. Basalo Sangkap adalah raja di 4 kerajaan kecil di Banggai. 

Suatu hari seorang nenek yang namanya dirahasiakan oleh Om Mat, datang menghadap Basalo Sangkap. Nenek itu menyampaikan kepada para Basalo agar tidak lagi pusing. Maka disuruhlah perangkat kerajaan menggelar sayembara permainan gasing. Gasing yang tidak pernah berhenti berputar dari awal hingga akhir, pemiliknya itulah yang akan jadi raja.

Ahmad Abuhadjim (Foto: Iker)

Maka sesuai permintaan si nenek, sayembara gasing digelar dan Abu Kasim ikut sayembara tersebut. Dia mengakali atau berbohong pada ibunya. Abu Kasim dan ibunya tinggal di Bungkuko Tatandak, di Desa Adean ke atas. Ibu Abu Kasim tidak ingin anaknya menjadi Raja. 

“Dia akal mamanya, dia punya gasing itu dia kasih masuk di gelagar rumah yang masih bambu, dia masukkan di situ, baru dia bilang, mama, saya ikut main raga. Padahal habis main raga, dia turun ke Banggai main gasing. Begitu dia sudah menang, mamanya tahu, maka mamanya lari ke Banggai (keraton atau pusat kota Banggai), sampai ada istilah safa dan marwah, sampe di Lonas (nama komplek), air yang dibawanya di Lonas itu dia tancapkan di situ, makanya dikasih nama lonas. Kan, dulu orang-orang kalo pegang air minum di ruas-ruas bambu,” ucap Om Mat.

Tapi di sana (di keraton) Abu Kasim sudah diperintahkan ditangkap. Anak itu lari, dia masuk dan bersembunyi di Banggai Lalongo. Maka pergilah Basalo Sangkap menjemput Abu Kasim. Yang menemukan Abu Kasim pertama kali itu Basalo Monsongan atau Basalo Katapean, dipeluknya Abu Kasim, tapi anak itu tetap menangis. Abu Kasim diserahkan ke Basalo Gonggong, tapi masih tetap menangis.

“Dikasih ke Basalo Bobulau, tetap menangis. Terakhir dia dikasih ke Basalo Kokini, sehingganya kalo raja dilantik, Basalo Kokini yang pangku, dan basalo Bobulau yang sumpah. Awalnya masih tetap menangis saat Basalo kokini pangku Abu Kasim. Basalo Kokini, dia kasih tahu itu bahasa itu, ‘Laso naimo kai mo kokil, banggalo mo kokil, tiliomo maka mo binee kukup doi baginsa, kulintang doi bobatu‘ (Anakku–Laso adalah panggilan sayang ke anak laki, tidak usah menangis, berhenti saja menangis, tunggu saja kau diberi penutup kapala dari turunan bangsawan perempuan, alat musik dari turunan bangsawan laki-laki). Berhenti dia menangis. Mereka bilang, ‘oh, so ini anak yang dibilang itu nenek’,” terang Om Mat sambil sesekali mengisap rokoknya.

Peserta karnaval budaya membuat replika kapal Adi Cokro/Adi Soko (Foto: Iker)

Singkat cerita, Abu Kasim bilang, saya belum bisa jadi raja, saya masih anak-anak. Tapi kalau dipaksa, izinkan saya minta izin sama bapak saya. Sebagai bekal bertemu bapaknya, ibunya membekalinya sebuah cincin peninggalan Adi Cokro. Jika melihat cincin tersebut, Adi Cokro pasti langsung mengenali anaknya yang ia tinggalkan saat masih dalam kandungan. Karena Adi Cokro pernah berpesan kalau anak dalam kandungan istrinya itu lahir, jika dia perempuan pakaikan cincin itu di jari manis sebelah kiri, dan jika laki-laki pakaikan di jari manis sebelah kanan.

“Sebelum dia pergi, dia punya permintaan sama Basalo Sangkap. Bikin akan saya perahu, perahu itu bisa  muat laki-laki kekar 40 orang. Itu yang pertama. Yang kedua, bikinkan saya bue-bue  (ayunan) 44 buah, kemudian carikan saya anak baru lahir laki-laki 44 orang, sebelah 22 sebelah 22 (diletakkan di dua sisi perahu), ditarolah  bayi-bayi itu di bue-bue Dia berlayar. Sampai di Tolokibit (nama desa), dia pikir hanya dia sendiri, karena dia sakti dan dengan izin Allah, dia teriak satu kali, kagetlah bayi-bayi itu. Jadilah mereka pemuda yang kekar, sehingga itu Tolokibit dikasih nama Tolokibit, artinya kaget.”

Setelah bayi-bayi itu menjadi pemuda kekar, masing-masing membuang ayunan mereka ke laut. Satu ayunan tadampar di Desa Mansalean, di Tanjung Merah, bersebelahan dengan Tolo, tempat rombongan Mombawa Tumpe singgah dan mengganti daun pembungkus telur. Ayunan yang hanyut itu menjadi batu dan disebut batu palalan (batu ayunan/bue-bue). Tanjung Merah dipercaya masyarakat Mansalean sebagai keramat dan sering terjadi hal-hal mistis, misalnya perahu nelayan yang terbalik atau tenggelam ketika melewati tanjung Merah. Ada satu kejadian yang masih menjadi misteri oleh masyarakat Mansalean, yaitu seseorang tenggelam di depan tanjung merah dan jasadnya tidak ditemukan hingga kini.

Sementara ayunan lain sampai di Tutulunan, depan SMK Perikanan, yang sudah berbentuk batu. Waktu dulu, para orangtua bayi yang ikut Abu kasim itu sudah menangis, ketika ayunan anak-anak mereka ditemukan di Totulunan. Di depan SMK Perikanan itu dengan pemandangan batu-batu Palalan, tidak ada boleh ada bangunan,karena menyangkut adat.

Om Mat memperbaiki posisi duduknya yang bersebelahan dengan saya yang dipisahkan  meja berbahan plastik. Dia yang selalu ada pada acara-acara batomundoan (kekerajaan) melanjutkan ceritanya.

Berlayarlah Abu Kasim, sampai di pulau yang sekarang bernama Bokan Kepulauan, Abu Kasim mampir untuk berpamitan kepada saudarinya, Putri Bokan. Putri Bokan ini sesungguhnya memiliki nama, tapi Om Mat enggan menyebut nama putri itu. Di tanah merah yang orang-orang bilang gunung gundul, tempat si Putri tinggal, ia menitip oleh-oleh emas dari Jawa, yang langsung disanggupi Abu Kasim.

“Abu Kasim sudah sampai di Jawa, potong cerita, masih panjang ceritanya ini. Dia temui bapaknya, bapaknya bilang, ‘oh, so dia itu anak’, karena cincin di jari kanannya. Begitu bertemu, Abu Kasim menyampaikan keinginan pemangku adat dan masyarakat. Bapaknya bilang, ‘begini saja, ngana masih kecil. Ngana pulang saja, ngana bawa ngana pe kaka pe oleh-oleh ini (emas untuk Putri Bokan). Tapi jangan lupa ngana singgah di Ternate, di Galela. Di sana ambe ngana pe kaka, kasih tahu ngana pe kaka, Maulana Prince Mandapar, saya punya pesananan, dialah yang ke Banggai, dia jadi Raja di sana, ngana masih anak-anak’,” ujar Om Mat yang makin seru bertutur.

Bupati, wakil bupati, perwakilan kemenparekraf, perwakilan Gubernur Sulteng, Bupati Bangkep, perangkat adat dan lainnya berfoto usai prosesi penerimaan telur Maleo. (Foto: Iker)

Saat Maulana Prince Mandapar memerintah ada istilah Jogugu, Mayor Ngopa, Kapitan Laut dan Hukum Tua di kerajaan Banggai. Keempat nama itu setara menteri jika dalam pemerintahan negara. Kapitan laut itu sama dengan panglima Angkatan Laut yang wilayah kerjanya dari Luwuk (Ibu Kota Kabupaten Banggai) hingga Kecamatan Pagimana dan Kecamatan Bunta. Sedangkan Mayor Ngopa atau panglima Angkatan Darat, wilayahnya dari Luwuk sampai ke Batui.

“Hukum tua itu wilayah kerjanya di pulau Peling (Kab. Banggai Kepulauan), kedudukannya di Salakan. Di Banggai, wilayahnya Jogugu, menteri dalam negeri.

Kami mengakhiri sesi bertutur siang itu. Dari masjid di depan rumah Om Mat, suara mengaji sudah terdengar. Om Mat harus bersiap salat Jumat. *)