Setelah bayi-bayi itu menjadi pemuda kekar, masing-masing membuang ayunan mereka ke laut. Satu ayunan tadampar di Desa Mansalean, di Tanjung Merah, bersebelahan dengan Tolo, tempat rombongan Mombawa Tumpe singgah dan mengganti daun pembungkus telur. Ayunan yang hanyut itu menjadi batu dan disebut batu palalan (batu ayunan/bue-bue). Tanjung Merah dipercaya masyarakat Mansalean sebagai keramat dan sering terjadi hal-hal mistis, misalnya perahu nelayan yang terbalik atau tenggelam ketika melewati tanjung Merah. Ada satu kejadian yang masih menjadi misteri oleh masyarakat Mansalean, yaitu seseorang tenggelam di depan tanjung merah dan jasadnya tidak ditemukan hingga kini.

Sementara ayunan lain sampai di Tutulunan, depan SMK Perikanan, yang sudah berbentuk batu. Waktu dulu, para orangtua bayi yang ikut Abu kasim itu sudah menangis, ketika ayunan anak-anak mereka ditemukan di Totulunan. Di depan SMK Perikanan itu dengan pemandangan batu-batu Palalan, tidak ada boleh ada bangunan,karena menyangkut adat.

Om Mat memperbaiki posisi duduknya yang bersebelahan dengan saya yang dipisahkan  meja berbahan plastik. Dia yang selalu ada pada acara-acara batomundoan (kekerajaan) melanjutkan ceritanya.

Berlayarlah Abu Kasim, sampai di pulau yang sekarang bernama Bokan Kepulauan, Abu Kasim mampir untuk berpamitan kepada saudarinya, Putri Bokan. Putri Bokan ini sesungguhnya memiliki nama, tapi Om Mat enggan menyebut nama putri itu. Di tanah merah yang orang-orang bilang gunung gundul, tempat si Putri tinggal, ia menitip oleh-oleh emas dari Jawa, yang langsung disanggupi Abu Kasim.