Gasing, Bukan Sekadar Permainan Tradisional

oleh -
Gasing milik Sulaiman Pasono, yang mendapatkan juara 1 (Foto: Iker)

Tapi di sana (di keraton) Abu Kasim sudah diperintahkan ditangkap. Anak itu lari, dia masuk dan bersembunyi di Banggai Lalongo. Maka pergilah Basalo Sangkap menjemput Abu Kasim. Yang menemukan Abu Kasim pertama kali itu Basalo Monsongan atau Basalo Katapean, dipeluknya Abu Kasim, tapi anak itu tetap menangis. Abu Kasim diserahkan ke Basalo Gonggong, tapi masih tetap menangis.

“Dikasih ke Basalo Bobulau, tetap menangis. Terakhir dia dikasih ke Basalo Kokini, sehingganya kalo raja dilantik, Basalo Kokini yang pangku, dan basalo Bobulau yang sumpah. Awalnya masih tetap menangis saat Basalo kokini pangku Abu Kasim. Basalo Kokini, dia kasih tahu itu bahasa itu, ‘Laso naimo kai mo kokil, banggalo mo kokil, tiliomo maka mo binee kukup doi baginsa, kulintang doi bobatu‘ (Anakku–Laso adalah panggilan sayang ke anak laki, tidak usah menangis, berhenti saja menangis, tunggu saja kau diberi penutup kapala dari turunan bangsawan perempuan, alat musik dari turunan bangsawan laki-laki). Berhenti dia menangis. Mereka bilang, ‘oh, so ini anak yang dibilang itu nenek’,” terang Om Mat sambil sesekali mengisap rokoknya.

Peserta karnaval budaya membuat replika kapal Adi Cokro/Adi Soko (Foto: Iker)

Singkat cerita, Abu Kasim bilang, saya belum bisa jadi raja, saya masih anak-anak. Tapi kalau dipaksa, izinkan saya minta izin sama bapak saya. Sebagai bekal bertemu bapaknya, ibunya membekalinya sebuah cincin peninggalan Adi Cokro. Jika melihat cincin tersebut, Adi Cokro pasti langsung mengenali anaknya yang ia tinggalkan saat masih dalam kandungan. Karena Adi Cokro pernah berpesan kalau anak dalam kandungan istrinya itu lahir, jika dia perempuan pakaikan cincin itu di jari manis sebelah kiri, dan jika laki-laki pakaikan di jari manis sebelah kanan.

“Sebelum dia pergi, dia punya permintaan sama Basalo Sangkap. Bikin akan saya perahu, perahu itu bisa  muat laki-laki kekar 40 orang. Itu yang pertama. Yang kedua, bikinkan saya bue-bue  (ayunan) 44 buah, kemudian carikan saya anak baru lahir laki-laki 44 orang, sebelah 22 sebelah 22 (diletakkan di dua sisi perahu), ditarolah  bayi-bayi itu di bue-bue Dia berlayar. Sampai di Tolokibit (nama desa), dia pikir hanya dia sendiri, karena dia sakti dan dengan izin Allah, dia teriak satu kali, kagetlah bayi-bayi itu. Jadilah mereka pemuda yang kekar, sehingga itu Tolokibit dikasih nama Tolokibit, artinya kaget.”