Sementara itu, Ahmad Abuhadjim keluar masuk arena tanding gasing. Ia bebincang dengan panitia dan kembali nampak sibuk. Ahmad dipanggil Om Mat, tokoh adat dan yang dituakan dalam permainan gasing. Begitu melihat ada cela, saya mendekat dan memperkenalkan diri.

Kami berteduh dari terik di bawah tenda. Om Mat mulai bercerita, namun suaranya timbul tenggelam kalah dengan suara dari panggung yang mengarahkan para peserta lomba gasing dan lomba hadang. Saya kemudian meminta izin bertandang ke rumah Om Mat, di Desa Timbong, berjarak kurang lebih 5,2 km dari taman kota Banggai.

Permainan gasing ini dibawa oleh Abu Kasim zaman dahulu, kata Om Mat.  Ceritanya, bapak Abu Kasim, Adi Cokro atau Adi Soko dalam pelafalan orang Banggai, kembali ke Jawa setelah menikahi Nur Sapa, ibu Abu Kasim. Kepergiannya menyebabkan kekosongan pemimpin dalam pemerintahan Keraton Banggai, dan hal itu membuat Basalo Sangkap pusing. Basalo Sangkap adalah raja di 4 kerajaan kecil di Banggai. 

Suatu hari seorang nenek yang namanya dirahasiakan oleh Om Mat, datang menghadap Basalo Sangkap. Nenek itu menyampaikan kepada para Basalo agar tidak lagi pusing. Maka disuruhlah perangkat kerajaan menggelar sayembara permainan gasing. Gasing yang tidak pernah berhenti berputar dari awal hingga akhir, pemiliknya itulah yang akan jadi raja.

Ahmad Abuhadjim (Foto: Iker)

Maka sesuai permintaan si nenek, sayembara gasing digelar dan Abu Kasim ikut sayembara tersebut. Dia mengakali atau berbohong pada ibunya. Abu Kasim dan ibunya tinggal di Bungkuko Tatandak, di Desa Adean ke atas. Ibu Abu Kasim tidak ingin anaknya menjadi Raja. 

“Dia akal mamanya, dia punya gasing itu dia kasih masuk di gelagar rumah yang masih bambu, dia masukkan di situ, baru dia bilang, mama, saya ikut main raga. Padahal habis main raga, dia turun ke Banggai main gasing. Begitu dia sudah menang, mamanya tahu, maka mamanya lari ke Banggai (keraton atau pusat kota Banggai), sampai ada istilah safa dan marwah, sampe di Lonas (nama komplek), air yang dibawanya di Lonas itu dia tancapkan di situ, makanya dikasih nama lonas. Kan, dulu orang-orang kalo pegang air minum di ruas-ruas bambu,” ucap Om Mat.