PALU – Dosen Tetap Non PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada Jurusan Perikanan dan Kelautan, Universitas Tadulako (Untad), Fachruddin Hari Anggara Putera, menggugat Rektor Untad di Pengadilan Negeri (PN) Palu.

Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 76/Pdt.G/2021/PN Pal itu karena sistem penggajian yang dilakukan pihak Untad tidak menaati peraturan-peraturan yang berlaku, tidak sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Tengah (Sulteng) dan tidak sesuai dengan pangkat/golongan Dosen Tetap Non PNS yang telah disetarakan.

Selain itu juga tidak membayarkan tunjangan sertifikasi dosen (serdos), tidak membayarkan insentif kerja (remunerasi), dan tidak membayarkan uang makan.

Sejak tahun 2016 hingga tahun 2021, yang bersangkutan hanya digaji sebesar Rp1,6 juta per bulan, jauh dari angka UMR yang telah ditetapkan sebesar Rp2,3 juta lebih. Bahkan mereka yang statusnya masih BLU, hingga hari ini hanya dibayar sebesar Rp1 juta.

“Sayapun pernah menerima gaji ini pada tahun 2014-2015. Ini sangat jauh dari kata layak, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,” kata Angga kepada media ini, Selasa (02/11).

Ia mengatakan, pada Pasal 51 ayat (1) huruf a UU tersebut, disebutkan bahwa memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Selain itu, ada pula Permendikbud Nomor 84 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non PNS pada PTN dan Dosen Tetap PTS pada PTS, di mana pada Pasal 9 ayat (1) Hak Dosen Tetap Non PNS pada PTN dan Dosen Tetap PTS pada PTS huruf a, menyatakan bahwa memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum.

Selain itu, lanjut dia, Peraturan Rektor Universitas Tadulako Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kepegawaian yang harusnya menjadi dasar bagi Untad dalam menggaji para dosennya, di mana pada BAB IV manajemen pegawai, bagian kedua manajemen Dosen Tetap Non PNS, Paragraf ke 9 terkait Gaji dan Tunjangan, tepatnya Pasal 27, menyebutkan bahwa Dosen Tetap Non PNS yang diangkat dalam suatu pangkat/golongan ruang menurut peraturan ini, diberikan gaji pokok berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk golongan ruang itu dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Rektor ini.

“Dengan demikian, jika merujuk pada aturan tersebut, maka gaji minimal seorang dosen tetap non PNS Golongan III/B dan masa kerjanya Golongan selama 0 tahun adalah sebesar Rp2,5 juta lebih per bulan. Oleh karena itu, maka apa yang dilakukan oleh pihak kampus sudah menyalahi aturan,” ungkapnya.

Gugatan kepada Rektor juga terkait tunjangan sertifikasi dosen (serdos) yang tidak dibayarkan oleh pihak kampus padahal penggugat dalam hal ini Angga telah memiliki sertifikasi pendidik (serdos) tersebut.

“Aturannya jelas, banyak peraturan yang menyebutkan bahwa setiap dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik wajib dibayarkan tunjangan profesinya,” ujarnya.

Pertama, kata dia, Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor: 164/PMK.05/2010 tentang Sertifikasi Dosen) Bab V Besaran Tunjangan Pasal 8 ayat (2) yang menjelaskan Tunjangan Profesi Guru dan Dosen Bukan Pegawai Negeri Sipil diberikan setiap bulan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi guru dan dosen bukan pegawai negeri sipil.

Kedua, peraturan rektor itu sendiri, yakni Peraturan Rektor Universitas Tadulako Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Kepegawaian, Paragraf 8, Pasal 26, mengungkapkan bahwa kami para Dosen Tetap Non PNS juga berhak mendapatkan tunjangan profesi tersebut, ” jelasnya.

Menurutnya, apa yang telah dia ungkapkan hanyalah sedikit saja dari banyaknya peraturan yang menjelaskan hal tersebut.

Selain itu, kata dia, ia bersama dosen tetap non PNS maupun dosen BLU di Untad juga berhak menerima remunerasi.

“Tapi kenyataan yang terjadi di lapangan, kami tidak menerima hak tersebut,” katanya.

Ia pun menguraikan sejumlah dasar hukum dan peraturan terkait pemberian remunerasi kepada dosen tetap non PNS maupun dosen tetap BLU, yaitu PMK Nomor: 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas & Pegawai BLU, PMK Nomor: 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan Atas PMK Nomor: 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas & Pegawai BLU.

Selanjutnya, PMK Nomor: 176/PMK.05/2017 tentang Pedoman Remunerasi Badan Layanan Umum, dan yang terbaru adalah PMK Nomor: 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum.

Aturan turunannya, kata dia, berupa Peraturan Rektor Universitas Tadulako Nomor 8 tahun 2016 tentang kepegawaian, Bab IV paragraf ke 9 Gaji dan Tunjangan pasal 31 menjelaskan : selain Gaji, Dosen Tetap Non PNS memperoleh tunjangan jabatan, tunjangan beras, tunjangan keluarga, serta tambahan gaji PNBP dan insentif kinerja dalam sistem remunerasi yang diatur dalam Peraturan Rektor tentang remunerasi di Universitas Tadulako Palu.

“Sayangnya, aturan ini sekali lagi tidak diterapkan oleh Untad dengan dalih bahwa yang berhak menerima remunerasi hanyalah mereka yang berstatus PNS berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Tadulako Nomor: 3019/UN28/KU/2020, tanggal 09 Maret 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Remunerasi Universitas Tadulako,” tuturnya.

Padahal, kata dia, harusnya keputusan rektor tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan lainnya yang telah ada lebih dulu.

“Sehingga bisa dikatakan aturan ini cacat secara hukum dan dibuat-buat untuk melegalkan sesuatu yang salah,” tegasnya.

Terkait gugatan yang sedang berjalan, ia pun mengaku bersyukur kepada Allah SWT bahwa gugatan yang dilayangkannya ke PN Palu telah mengungkap fakta bahwa apa yang dilakukannya memang benar. Buktinya, kata dia, pihak Rektor akhirnya mau membayarkan sertifikasi dosen.

Ia sendiri mengucapkan terima kasih kepada Rektor Untad yang telah membayarkan haknya, walaupun nominalnya belum sesuai dengan berbagai peraturan yang ada.

“Sayangnya, selama proses mediasi, pihak rektor tidak menjelaskan mengapa hak-hak kami yang lain yang tertuang dalam gugatan tidak dibayarkan. Ini masih tanda tanya hingga sekarang sehingga proses gugatan ini lanjut ke tahap berikutnya,” lanjutnya.

Sekiranya pihak Rektor mampu menjelaskan secara logis disertai aturan-aturan yang ada, maka ia bersedia mencabut gugatannya.

“Namun Allah ternyata berkehendak lain, saya ternyata harus tetap berjuang bersama kebenaran yang saya yakini tersebut. Berjuang bersama kebenaran tersebut, tidak meninggalkannya untuk berjalan sendiri,” tutupnya.

Angga sendiri bergabung menjadi Dosen Tetap Non PNS di Untad karena statusnya sebagai mahasiswa pascasarjana penerima Beasiswa Unggulan (BU) Dikti yang diharuskan mengabdi setelah tamat S2.

Di tahun 2013, Angga selesai kuliah S2 pada program studi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan IPB, kemudian ditempatkan oleh dikti sebagai dosen penerima program beasiswa unggulan di Untad dan digaji sebesar Rp3 juta per bulan oleh Dikti, tepatnya Desember 2013 sampai Mei 2014.

Di bulan Juni 2014 hingga tahun 2015, ia diberikan gaji sebesar Rp1 juta per bulan oleh pihak Untad dan di tahun 2016 hingga 2021, Angga digaji sebesar Rp1,6 juta per bulan.

Terkait dengan hal ini, Rektor Untad, Prof. Mahfudz yang dikonfirmasi via WhatsApp di nomor pribadinya 08131426xxxx, tidak memberikan jawaban. (RIFAY)