PALU – Pengurus Besar (PB) Alkhairaat memandang perlunya membawa kembali kasus dugaan ujaran kebencian dan penghinaan oleh Gus Fuad Plered kepada Pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua, ke ranah adat.

Hal ini berkaitan dengan kedatangan dua utusan Gus Fuad Plered ke Gedung PB Alkhairaat, dalam rangka silaturahmi sekaligus membicarakan persoalan sanksi adat yang telah dijatuhkan majelis wali adat Kamis 10 April lalu.

Sabtu (05/07) sore, dua utusan Gus Fuad Plered, yaitu Muhammad Mukhlasir Ridho Syukronil Khitam selaku kuasa hukum dan salah satu santrinya dari Jayapura, Fuad Sadid Sangke, menemui sejumlah Pengurus PB Alkhairaat dan pengurus Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulawesi Tengah.

Pertemuan dihadiri Ketua PB Alkhairaat, Ustadz Husen Habibu dan Asgar Basir Khan, Sekjen PB Alkhairaat Jamaludin Mariadjang, Sekretaris Umum BMA Ardiansyah Lamasituju bersama tiga Dewan Pakar BMA, yaitu Dr Nisbah, Syuaib Djafar dan Siti Norma Marjanu, serta Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng, Arifin Sunusi.

Ketua PB Alkhairaat sekaligus Panglima Garda Alkhairaat (GAL), Ustadz Husen Habibu, mengatakan, pihaknya menerima kedatangan dua utusan Fuad Plered tersebut, bukan dalam rangka memberikan maaf di tempat tersebut.

“Karena kita harus melakukan rapat dulu di PB Alkhairaat, konsolidasi dengan Garda Alkhairaat dan lainnya. Karena yang marah ini adalah massa di Indonesia Timur, di Jakarta, di Surabaya, dan di mana-mana,” katanya.

Selain itu, kata dia, mengenai permintaan atau “negosiasi” mengenai sanksi adat yang telah dijatuhkan, PB Alkhairaat sendiri juga tidak bisa mengambil keputusan, karena itu berada dalam ranah BMA yang perlu dimusyawarahkan di Sou Raja Kota Palu.

“Hal-hal yang berkaitan dengan hukum kita serahkan kepada negara dan itu persoalan belakangan. Sanksi adat ini dulu yang akan kita jalankan,” katanya.

Ia tidak ingin Alkhairaat dikatakan pecundang jika nantinya apa yang telah diputuskan oleh majelis wali adat, tidak dijalankan oleh Fuad Plered

“Alkhairaat bukan pecundang. Kami mau menegakkan marwah Alkhairaat, karena bagi kami, marwah Alkhairaat, marwah Guru Tua, itu yang terpenting,” tegasnya.

Ia menyampaikan terima kasih kepada kuasa hukum Fuad Plered yang sudah mau datang menemui pengurus PB Alkhairaat.

Alkhairaat, kata dia, tidak pernah dendam dengan orang lain. Namun Alkhairaat perlu menegakkan aturan, termasuk keputusan yang sudah dikeluarkan dewan adat.

Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng, Arifin Sunusi, menyampaikan, pasca ujaran kebencian yang disampaikan Fuad Plered di media social, struktur pengurus di tingkat komwil dan komda, langsung memasukkan laporan ke kepolisian.

Kata dia, hanya satu yang tidak mengadukan ke kepolisian, yaitu Komwil Alkhairaat Sulawesi Tengah.

“Kami meminta izin kepada PB Alkhairaat dan Ketua Utama Alkhairaat untuk menempuh jalur adat,” katanya.

Ia sebagai pengadu di sidang adat, memahami apa yang dialami Fuad Plered saat ini, apalagi sudah ada kemauan dan keikhlasannya untuk menerima sanksi adat itu.

“Jadi sanksi adat yang telah dijatuhkan, apakah bisa ditawar atau tidak. Perubahannya hanya bisa dilakukan oleh Toma Oge. Jadi tidak bisa serta merta pertemuan kita hari ini memutuskan apakah keputusan dewan adat itu bisa mengalami perubahan,” jelasnya.

Ia bersyukur akhirnya Gus Fuad Plered menyadari ada kesalahan dan mengutus perwakilannya ke PB Alkhairaat.

Di tempat yang sama, Sekretaris BMA Sulteng, Ardiansyah Lamasitudju, mengatakan, sebuah keputusan intelektual dan sangat cerdas dari PB Alkhairaat yang mendorong pengurus adat untuk “mengeksekusi” hajat seluruh masyarakat pencinta Guru Tua di Indonesia ini.

Hukum adat, kata dia, pasti berpihak kepada kebenaran tanpa melihat agama.

“Persoalan ini betul-betul panas. Teman-teman dari Katolik, Protestan, dari lainnya mengamuk semua. Sehingga harus ada wadah yang menampung amukan ini sehingga bisa redam,” katanya.

Ariansyah mengaku sempat didatangi seorang polisi berpangkat Kombes yang menanyakan apakah setelah sanksi adat sudah dipenuhi, hukuman putus leher itu masih berlaku.

Ia pun menjelaskan bahwa adat di Sulteng ini, salah satu yang mengedukasi adalah Guru Tua.

Dulu, kata dia, banyak adat yang masih berpaham animisme, seperti menenggelamkan di dasar laut bagi pelanggar adat tertinggi, atau diputuskan lehernya lalu dipamerkan ke semua orang sebagai bentuk edukasi.

Tapi sekarang, kata dia, dengan hadirnya HAM, kemudian pertimbangan agama dan lainnya, maka sanksi berupa hewan itulah yang berlaku.

“Jadi untuk pengganti hukuman nyawa itu maka diajukanlah sekian ekor hewan. Kalau cuma satu orang atau satu kelompok yang merasa terdegradasi perasaannya pada saat itu, ya satu ekor kerbau,” katanya.

Namun, kata Ardiansyah, karena yang tersakiti adalah seluruh abnaul khairaat di kurang lebih 74 kabupaten/kota dan beberapa provinsi, maka harusnya sejumlah itu hewan yang harus diserahkan.

“Tapi kami melalui musyawarah dewan wali adat, untuk mewakili 74 komda dan komwil ini, maka cukup PB Alkhairaat saja, ditambah empat ekor untuk empat kewilayahan adat di Kota Palu,” katanya.

Ia juga menyampaikan kepada polisi yang menemuinya bahwa jika ini tidak ditindaklanjuti, maka masyarakat akan bertindak.

“Saya jelaskan sifat orang Sulawesi. Orang Sulawesi sebenarnya tidak susah diatur, karena orang Sulawesi itu sangat patuh dengan aturan. Tapi ketika diabaikan, maka dia bisa bertindak secara senyap,” ungkapnya.

Setelah ini, kata dia, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan 13 dewan adat di kabupaten/kota dan nantinya para hakim akan memutuskannya.

Ia menegaskan, Adat Kaili tidak bisa ditawar sama sekali. Tapi bisa tolerir. Bisa diminta, tidak bisa ditawar.

Apapun keputusan majelis wali adat nanti, apakah tetap kerbau atau sapi, maka itu bukan untuk dijual, tapi disembelih dan diundang semua orang menyaksikan sebagai bentuk edukasi.

“Jadi proses penyembelihan hewan nanti bukan syukuran, tetapi edukasi kepada orang supaya jangan meniru seperti itu, kemudian hilang semua,” katanya.

Sementara itu, Sekjen PB Alkhairaat, Jamaluddin Mariadjang, mengatakan, rapat dewan adat tidak perlu terburu-buru, harus merumuskan sebaik mungkin apa yang menjadi pemintaan dari pihak Fuad Plered.

“Kalau harus menunggu seminggu atau lebih, kenapa tidak. Belanda saja menjajah Bangsa Indonesia 350 tahun. Jadi jangan kita persoalkan masalah waktu ini, karena kalau buru-buru dan menghasilkan keputusan yang salah, maka majelis wali adat juga bisa kena givu atau sanksi,” katanya.

Ia mengatakan, pertemuan ini menjadi satu poin yang baik untuk bangsa ini, di mana orang-orang Jawa menghargai adat dan budaya Sulawesi Tengah.

“Kita tunjukkan kepada masyarakat bahwa kita sedang membangun sebuah peradaban di mana adat kita tempatkan di atas kebudayaan. Saya yakinkan bahwa gerakan-gerakan intoleran dan radikal tidak akan tumbuh di satu masyarakat yang memegang adat yang kuat,” tutupnya.

Sebelumnya, 10 April lalu, Majelis Wali Adat Kota Patanggota Palu menjatuhkan vonis Vaya Mbaso terhadap Fuad Plered atas dugaan ujaran kebencian, penghinaan, dan fitnah terhadap Guru Tua

Saat itu, Ketua Majelis Wali Adat Patanggota Ngata Palu, Arena Jaya Parampasi, menjatuhkan sanksi pengasingan sosial terhadap To Sala (terlapor/Fuad Plered) dari lingkungan masyarakat, sanksi adat Sampomava Bengga Besi Deana Pitu Ntina Sambei Tambolo (tujuh pasang kerbau betina besar pengganti leher, sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran adat).

Selanjutnya menetapkan sanksi tambahan berupa Sapulu Alima Nggayu Gandisi Posompu (15 lembar kain putih), Papitu Mata Guma (7 bilah kelewang atau parang adat), Papitu Dula Nu Ada Potande Balengga (7 buah dulang adat tempat kepala).

Selain itu, Samporesi Tovau Mbaso (1 ekor kambing jantan), Pitu Ntonga Tubu Puti (7 buah mangkuk adat, Pitu Ntonga Pingga Mputi Tava Kelo (7 buah piring putih bermotif daun kelor), Sapulu Sasio Do Ringgi Rapo Sudaka (99 keping uang ringgit sebagai sedekah, setara uang tunai sebesar Rp2.236.905), serta sanksi Nakaputu Tambolo (Putus Leher).