OLEH: Abdissalam Mazhar Badoh*
Banyak beredar diberbagai group WhatsApp yang berbasis abna’ Alkhairaat tentang permohonan maaf Fuad Plered, sosok Penghina Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Aljufrie, sang Pendiri Alkhairaat, Lembaga Pendidikan dan Dakwah Islamiyah yang corak kultur pikir dan budayanya telah 98 tahun mewarnai ciri khas abna’nya dalam bergelut di lingkungan sosial kemasyarakatan di Kawasan Indonesia Timur.
Hal ini menjadi sorotan publik secara nasional khususnya Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
Kenyataan ini mengingatkan kita pada peristiwa hampir setahun lalu terhadap kasus serius yang mengakibatkan berbagai elemen bangsa ikut peduli berbicara dan berpikir membahasnya, baik dalam diskusi ilmiah hingga pernyataan sikap keras lewat demo massa.
Hingga pada puncaknya tanggal 11 Syawal 1446 H, sehari sebelum Haul Guru Tua, kumpulan Abna’ul Khairaat yang tergabung dalam Aliansi Abna’ Peduli Guru Tua yang dikomandani H. Hermanto Muhammad, Wasekjen PB Alkhairaat, sekarang Kepala Dinas Dispora Kabupaten Donggala dan Presidium Peduli Guru Tua beramai-ramai menuju kantor DPRD Provinsi Sulteng.
Aksi dilakukan setelah tiga hari sebelumnya lembaga adat masyarakat Kaili Kota Palu menetapkan sanksi givu atau denda kepada Fuad Plered atas penghinaannya tersebut.
Kembali ke persoalan di atas, maka ada beberapa pertanyaan, apa yang melatarbelakangi hingga permohonan maaf Fuad Plered berseliweran ke sana ke mari dalam group WhatsApp? Siapa yang mefasilitasi masuknya postingan tersebut? Maksudnya apa?
Kami sebagai salah satu anggota aliansi mendapat info bahwa telah berkunjung kuasa hukum Fuad Plered kepada beberapa orang yang berkompeten, mencoba bernegosiasi serta mengarahkan kepada pemenuhan givu sebagai tanda permohonan maaf.
Tentunya ini sebagai upaya menghalangi masuknya sang penghina ke dalam penjara, mengingat kasus ini secara spesifik hukum positif telah sampai pada tahap penetapan sebagai tersangka dengan seabrek barang bukti yang memberatkan.
Jika kuasa hukum Fuad berupaya menabrakkan hukum positif dan hukum adat dengan dalih hukum adat adalah serapan hukum positif negara ini, maka itu adalah hal yang sia-sia, karena medan hukumnya berbeda.
Putusan hukumnya sama-sama berlaku, sah dan kredibel, tapi lembaga hukumnya berbeda. Sama-sama harus dipatuhi dan ditaati.
Hal ini tidaklah menimbulkan dualisme penyelesaian perkara, baik dalam hal putusan maupun lembaga, karena masing-masing berdiri sendiri dan keduanya memiliki wibawa. Jadi putusan hukum negara dijalani, dan putusan givu dibayar.
Kedua hukum ini sama sekali tidak menimbulkan hubungan sebab akibat. Dengan kata lain, kalau sudah membayar givu, lantas hukuman pidana tidak harus dilaksanakan. Demikian juga sebaliknya, kalau sudah masuk penjara, putusan givu tidak dilaksanakan.
Ini soal materiil putusan hukuman. Adapun materiil penyebab hukuman berbeda. Givu adalah putusan melanggar adat Kaili dan penghinaan adalah pelanggaran hukum pidana.
Secara adat, Fuad Plered ini telah memenuhi standar penilaian pelanggaran, makanya telah diambil keputusan oleh Dewan Adat Kaili.
Sementara itu dalam perjalanannya, sebentar lagi sampai pada gelar perkara yang akan dilakukan oleh pihak Polda Sulteng, kemudian masuk pada tahap penetapan tersangka. Semua barang bukti yang dipakai oleh Fuad ketika melakukan aksinya, mulai dari blangkon, laptop, baju dan sebagainya telah disita oleh Polda Sulteng.
Paparan di atas adalah gambaran jejak kasus Fuad Plered. Fuad telah menapaki jalan kesendiriannya dan takkan mungkin ada yang mau bertanggung jawab memberi givu sebagai komitmen lebih besar terhadap dirinya.
Kemustahilan telah menjadi mutlak yang diolah sebagai taktik dengan mengedepankan tanggung jawab. Mohon maaf, Takut dengan keputusan pidana berat yang Insya Allah akan menjemput, tiga, empat atau bahkan enam tahun, akan menjadi singgasananya.
Inilah jawaban beberapa pertanyaan di atas yang begitu riskan disaksikan lewat penggiringan opini video singkat yang bertujuan memaafkan, membayar givu dan selesailah kasus. Naudzubillahi.
Jika ada yang berani menggadaikan kemuliaan Habib Idrus bin Salim Aljufri -sang maestro ilmu ke-Islaman, yang telah mencapai puncak kemuliaan ilmu dan ibadahnya- dengan segepok uang, maka ketahuilah itu akan menjadi pengantar kematiannya dalam keadaan su’ul khotimah.
Ini berarti kedudukan ukhrawi sebagai mujahid yang tak pernah mati tetap menjadi yang terkasih dengan ketinggian maqam di sisi Allah Rabbul Jalil. Silahkan mencoba gadaikan. Kami tak bertanggung jawab.
*Penulis Sekjen Sentral Cendekia Abnaul khairaat Indonesia