Jakarta — Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Industri Merdeka (DPP FSPIM) mengadukan sejumlah masalah pekerja pertambangan di kantor Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia (Kemnaker RI). Pengaduan tersebut dilakukan pada 17 November 2025.
Ketua DPP FSPIM Jordi Goral menuturkan,
masalah utama menjadi aduan yakni, mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Kedatangan pihaknya dikirimkan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (ditjen Binwasnaker & K3), melalui 2 orang stafnya.
“Adapun hal spesifik dikeluhkan oleh pihaknya, seperti 3 orang pekerja PT. QMB meninggal , Maret lalu tidak mendapatkan santunan, hanya karena pekerja tersebut merupakan pekerja kontraktor harian,” kata Jordi, Rabu (19/12).
Jordi menyebutkan, pekerja tersebut tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan dari perusahaan. Padahal menurut kedua staf Kemnaker, perusahaan wajib membuatkan BPJS pekerja — apapun statusnya. Kasus lain juga turut diadukan oleh pihaknya seperti kebocoran gas di PT. QFF dan (yang terbaru) meninggalnya pekerja di PT. LSI/BSI akibat kesetrum listrik.
Dikonfirmasi Media Relations Head PT IMIP, Dedy Kurniawan mengatakan, bagi pihaknya, kritikan sifatnya membangun itu sangat perlu dilakukan, demi perbaikan berkelanjutan dan menciptakan lingkungan kerja lebih baik. Kawasan IMIP sangat terbuka dengan hal tersebut. Apalagi itu datang dari serikat pekerja sejatinya menjadi mitra strategis dari perusahaan.
“Tetapi, kritik dikeluarkan itu wajib disampaikan dengan jernih dan faktual berdasarkan data serta fakta. Bukan bersumber dari informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” ujar Dedy, Rabu (19/11).
Dedy mengatakan, pada prinsipnya K3 menjadi sebuah nilai utama dan komitmen mutlak bagi seluruh perusahaan (tenant) ada di dalamnya. Itu merupakan kewajiban hukum dan etis untuk melindungi pekerja dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
“Segala temuan investigasi oleh pihak berwenang, dalam hal ini Binwasnaker Sulteng, menjadi dasar untuk mengevaluasi sistem, prosedur secara menyeluruh terhadap keselamatan dan kesehatan kerja di wilayah operasional Kawasan IMIP, ” katanya.
Perlu diketahui, kata Dedy, semua jenis kecelakaan kerja telah dilaporkan ke instansi berwenang, dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah, dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Morowali. Tak hanya melaporkan ke instansi berwenang, perusahaan juga melaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan, agar karyawan mendapatkan perlindungan finansial dan manfaat tersedia antara lain biaya pengobatan dan/atau santunan.
“Hal ini diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang tata cara penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua,” ujarnya.
Dua aturan di atas, kata Dedy, berdasarkan kebijakan perusahaan kemudian menjadi dasar dalam menyalurkan santunan kepada pekerja mengalami kecelakaan kerja. Sehingga jika dikatakan oleh pihak serikat (DPP FSPIM) bahwa terdapat beberapa pekerja mengalami kecelakaan kerja belum mendapatkan santunan, dapat pihanya katakan jika informasi itu tidak benar adanya.
Lebih lanjut kata Dedy, pihak keluarga dan/atau ahli waris dari tiga karyawan kontraktor PT Morowali Investasi Konstruksi Indonesia (MIKI), korban dalam kecelakaan kerja terjadi di IMIP 8 (lokasi PT QMB-salah satu tenant di Kawasan IMIP) pada Maret 2025 lalu, telah memperoleh santunan dari perusahaan kontraktor tempat mereka bekerja.
“Jumlahnya sebesar Rp 600 juta. Selain itu, salah satu adik korban juga mendapat santunan dalam bentuk beasiswa pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi,” katanya.
Dedy mengatakan, untuk kecelakaan kerja di PT LSI yang terjadi pada 6 November 2025 kemarin, dimana dilaporkan bahwa salah satu pekerja tersengat listrik, pun pihak keluarga dan/atau ahli waris korban telah mendapatkan hak mereka.
“IT LSI bersama PT IMIP, telah menyalurkan santunan dalam bentuk tali asih kepada ahli waris pekerja sebesar Rp 600 juta,” ujarnya.
Tak hanya itu saja, kata Dedy melalui BPJS Ketenagakerjaan, ahli waris juga mendapat santunan JKM (jaminan kematian) sebesar Rp 211.984.000, yang di dalamnya termasuk biaya pemakaman dan santunan berkala disalurkan sekaligus.
Sementara, kata Dedy, kasus kecelakaan kerja yang terjadi di PT IRNC (bukan PT QFF) dimana dilaporkan bahwa ada salah satu pekerja mereka mengalami keracunan gas, pun dari pihak berwenang, Binwasnaker Sulteng dan pihak Kepolisian juga masih melakukan pendalaman atas kasus tersebut.
“Investigasi awal dilakukan dua lembaga pemerintah tersebut, tidak menemukan tanda-tanda korban keracunan gas. Pemeriksaan luar dilakukan terhadap korban pun tidak menunjukkan tanda-tanda demikian. Upaya forensik, visum, dan autopsi tidak dilakukan karena dari pihak keluarga tidak mengizinkan. Dan tidak ada surat perintah pemeriksaan lanjutan dikeluarkan pihak Kepolisian,” bebernya.
Dedy menambahkan, dari temuan fakta di lapangan dan pemeriksaan saksi dilakukan pihak Kepolisian, juga tidak menemukan adanya indikasi tersebut. Informasi menyebutkan bahwa korban keracunan gas, hanya bersumber dari keterangan pengawas lapangan menemukan korban.
“Argumen itu dikeluarkan dalam kondisi panik saat dimintai keterangan oleh polisi, dan hal ini juga diperkuat oleh hasil berita acara pemeriksaan saksi dari pihak Kepolisian,” katanya.
Dedy mengatakan, hasil investigasi dari pihak OHS PT IMIP dan tim Safety tenant, tidak ditemukan indikasi kebocoran gas. Detektor gas CO (karbon monoksida) yang digunakan (alat untuk mendeteksi keberadaan gas berbahaya tidak terlihat dan tidak berbau di udara) menunjukkan angka negatif.
“Meski demikian, perusahaan telah menyalurkan santunan dalam bentuk tali asih kepada keluarga dan/atau ahli waris korban,” katanya.**

