“WAYAMASAPI atau pagar sogili bukan lagi sekedar sumber pendapatan tapi itu budaya nenek leluhur kami dan saya ini generasi ke tiga.”
Itulah pengakuan, Fredy Kelengke saat ditemui di kediamannya Kelurahan Sangele, Kecamatan Pusulemba, Kabupaten Poso, Selasa (13/9).
Mengenakan kaos oblong merah, Fredi Kalengke dengan ramah mempersilakan kepada sejumlah jurnalis masuk ke rumahnya. Dari ucapan serta raut wajahnya tersirat kehati-hatian berbicara.
Fredy adalah satu di antara tiga pelaku wayamasapi masih bertahan di muara Danau Poso. Wayamasapi adalah tradisi menangkap ikan sidat atau sogili dengan perangkap diwariskan turun temurun leluhur nenek moyang orang Poso. Bila satu generasi dengan masa 60 tahun, dan Fredy Kalengke generasi ke tiga, berarti keberadaan wayamasapi berusia 180 tahun.
Namun sejak kedatangan perusahaan PT. Poso Energi (PE) , yang mengeruk sungai Poso dari ratusan pegiat wayamasapi satu persatu hilang, baik karena kurangnya hasil tangkapan akibat aktifitas perusahaan maupun ganti untung dari perusahaan kepada pegiat wayamasapi. Maka pelan dan pasti warisan leluhur itu sedikit demi sedikit tergerus atau mungkin hilang.
Sejak perusahaan beraktifitas, penghasilan pegiat wayamasapi turun, tidak hanya hasil tangkapan yang kurang, air sungai dulunya bisa diminum warga sekitar tidak dapat lagi diminum karena keruh.
Wayamasapi punya musim selama tujuh bulan biasanya mulai Desember sampai Juli , dalam masa waktu tersebut.
“Kami bisa dapatkan dalam semalam sampai 30 kilogram, tapi sejak adanya aktifitas perusahaan sungai Poso hanya bisa dapatkan delapan sampai sepuluh kilogram semalam,” kata Fredi turut didampingi istrinya Sritati Rakota.
Tidak sekali saja pihak perusahaan datang menemui Fredi Kalengke menawarkan ganti untung terhadap wayamasapi miliknya, tapi ayah dari tiga anak ini tetap kukuh bertahan pada pendiriannya tetap mempertahankan wayamasapi sebab bukan terletak pada nilai finansial, tapi warisan leluhur harus dipertahankan meskipun nyawa taruhannya.
Kemarin kata dia, pihak perusahaan datang kepada mereka menanyakan perihal pagar Sogili. Jujur mereka bertahan, sebab itu warisan dari leluhur.
Ketika ditanyakan PE, mau mereka berapa, kata dia, “Bila didengar sepintas ada pemikiran kemahalan, kami lepas wayamasapi sesuai dengan pendapatan hitungan perhari, perminggu, perbulan dan pertahun.”
Mereka sudah membuat satu bundel catatan merah di dalamnya, sudah ada hitung-hitungan harga.
“Pendapatan kami pertama tawarkan ke perusahaan Rp8,6 miliar, dengan hitungan pendapatan semalam 5 kilogram selama satu generasi,” katanya.
Perusahaan lalu kata dia, menawarkan Rp4,8 miliar, setengah generasi. Namun ternyata tidak direalisasikan oleh perusahaan. Lalu kemudian perusahaan kembali menawarkan, Rp 3 koma sekian, namun juga tidak direalisasikan. Sehingga terjadi lagi tawar menawar dengan Fredy dan ia pun mematok Rp2 koma sekian miliar. Jikalau kurang dari nilai itu, Fredy tidak akan bersedia.
Jadi menurutnya, di pernyataan mereka terakhir bila perusahaan mau dengan harga mereka patok Rp2 koma miliar sekian tersebut, dia oke.”Dan itu kami beri batas waktu sampai akhir tahun ini. Tapi kalau tidak mau silahkan pergi,” ujarnya.
“Jujur kami sampaikan bukan cuma sekali diancam atau ditekan dengan keberadaan pagar sogili, tapi kami tetap bertahan,” katanya.
Apa sebab, karena jujur itu murni budel leluhur mereka tidak seperti pagar Sogili “siluman”,–muncul asal-asalan. Makanya bagaimanapun perusahaan menekan, mereka tidak akan mau, walaupun dibawah ke ranah hukum.
“Silahkan, kami siap, kami tidak mencuri, merampas, sebab itu murni hak kami. Ada surat wasiat dari orang tua ditandatangani di atas materai 2014 sebelum wafat,” kata Fredi penuh semangat.
Dalam surat wasiat itu ada dua poin, bunyinya rumah dan pagar Sogili diberikan kepada anak mereka bernama Fredi Kalengke.
Sebab itu sebenarnya tidak ingin mereka jual atau lepas, tapi dipakai untuk mencari. Sebab dari hasil pagar Sogili tersebut, bukan hanya satu anak jadi sarjana, bahkan sampai detik ini dua anaknya yang lain sudah akan menyelesaikan kuliah dengan hasil pagar Sogili.
“Jadi sayang kalau kami pasrah dengan perusahaan. Lahan pencarian kami seumur hidup akan hilang,” bebernya.
Sebelumnya ungkapnya, mereka pernah ditawarkan ganti untung Rp150 juta dari perusahaan. Mereka mau terima itu dengan syarat pagar sogili tidak dibongkar. dan membuat pernyataan surat hitam di atas putih.
“Besok atau lusa kalau rubuh pagar sogili siapa bertanggung jawab. Tapi tidak ada yang berani, makanya kami tolak tawaran itu,” katanya.
Kini yang mereka tuntut kalaupun diselesaikan, mereka minta bayar putus. ” Seperti sudah kami tawarkan tadi Rp2 koma miliar sekian. Bayar putus sebab sudah lima tahun kami terus didatangi perusahaan sudah bosan, tiada kepastian,” kesalnya.
Ia juga menjelaskan, wayamasapi miliknya itu awalnya dikelola berkelompok terdiri sembilan orang, tetapi delapan orang itu hanya pembeli malam di pagar Sogili tersebut.
Ia menuturkan, ketika ada penawaran dari perusahaan dibayarkanlah Rp325 juta dibagi sembilan orang, dalam proses pembayaran dirinya tidak masuk di dalam, sebab tidak menyetujui.
“Jadi delapan orang tersebut perorangnya dapat sekitar Rp36 juta,” katanya.
Dalam aturan pagar sogili kata dia, walau perusahaan sudah membeli, bagian dari delapan orang tadi tidak boleh dibongkar, akan tetapi perusahaan kenyataannya membongkar delapan bagian yang mereka beli itu.
Karena dirinya punya kerinduan dengan pagar sogili, Ia menyewa orang untuk memperbaiki pagar sogili seperti semula.
Ada juga perjanjian dengan perusahaan, satupun dari delapan itu tidak mengiyakan. Tapi kenyataanya mereka dibayar.
Mereka orang perusahaan juga mendatangi satupersatu delapan orang tersebut, memprovokasi, kalau dirinya sudah menerima dana ganti untung ditawarkan. Padahal tidak ada. Dan karena itu, delapan orang itu juga mau menerima.
Ia mengatakan, pada waktu pembicaraan dengan perusahaan, mereka pihak perusahaan menyampaikan kepada pegiat wayamasapi akan mengeruk sungai Poso ini dengan kedalaman 4 meter saja.
“Tapi sekarang kedalaman sungai dikeruk mungkin sekitar 7 atau 8 meter,” sebutnya.
Ia mengatakan, tidak sekali atau dua kali dia naik perahu mengingatkan kepada pekerja perusahaan agar jangan sekali-kali berani menggali batas yang ditandai. Batasnya 30 meter dari depan, samping kiri dan kanan dari pagar sogili tidak boleh dikeruk.
“Mau dibunuh kita di situ, tetap saya pertahankan pagar sogili,” tegasnya.
Kalaupun imbuhnya, pihak perusahaan tetap berkeras butuh dengan lokasi itu, maka bayar sesuai permintaan mereka tawarkan, Rp2 koma sekian miliar tersebut. Dengan uang itu mereka bisa memodali membuka usaha lain.
“Sebenarnya kami tidak ikhlas dengan harga itu, tapi kalau bisa diselesaikan mungkin itu memodali kami dan masa depan anak-anak,” pungkasnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG