PALU – Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta kepada pihak kepolisian agar tidak tebang pilih dalam penyelesaian konflik agraria yang melibatkan perusahaan skala besar.
“Pihak kepolisian seharusnya menjadi garda terdepan memberikan perlindungan kepada rakyat, bukan justru abai ataupun cenderung menjadi kaki tangan perusahaan melakukan intimidasi, represi dan penangkapan-penangkapan terhadap rakyat,” kata Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng, Eva Bande, Selasa (14/09).
Pernyataan ini berkaitan dengan penahanan salah satu petani di Desa Petasia, Morowali Utara bernama Gusman atas laporan perusahaan PT Agro Nusa Abadi.
“Padahal yang kami ketahui bahwa PT Agro Nusa Abadi diduga belum memiliki Hak Guna Usaha. Pemerintah daerah dan pihak Kepolisian dipertanyakan tajinya untuk menertibkan perusahaan ini. Bagaimana mungkin perusahaan yang diduga tidak memiliki legalitas dapat membuka perkebunan skala besar diatas tanah-tanah petani,” tanyanya.
Pihaknya bersama petani telah memasukkan surat permintaan audiens kepada Kapolda Sulteng, dengan harapan dapat berdiskusi dan menyampaikan masalah-masalah konflik agraria yang terjadi.
“Surat kami ditanggapi dan disarankan untuk bertemu ke bagian Ditreskrimum. Menurut kami, pelimpahan ini tidak akan menjawab problem yang Fras Sulteng akan sampaikan,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, eskalasi Konflik Agraria di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun makin meningkat. Di Sulawesi Tengah sendiri, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan sawit. Ekspansi perusahaan ini selalu memberi kontribusi pada deretan konflik-konflik petani di pedesaan.
“Watak monopolistik yang dimiliki oleh perusahaan sawit ini tidak mengarah pada kesejahteraan bagi petani, justru hal tersebut menjadi akar masalah konflik agaria di pedesaan,” tuturnya.
Ia pun mengungkapkan sejumlah konflik agraria yang terjadi di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah, di antaranya Kabupaten Banggai, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Donggala yang merupakan tempat bercokolnya perusahaan-perusahaan sawit skala besar yang menimbulkan konflik terhadap petani.
“Di Kabupaten Banggai terdapat kasus perampasan lahan, alih fungsi kawawasan hutan dan kriminalisasi terhadap Samria oleh PT Kurnia Luwuk Sejati, di wilayah yang sama PT Sawindo Cemerlang mengkriminalisasi petani transmigran Suparman,” ungkapnya.
Belum lama ini, lanjut dia, petani Rio Pakava atasn nama Hemsi pergi ke Belanda mengadu kepada para pendana perusahaan PT Astra Agro Lestari. Ia telah melaporkan ke pihak Kepolisian dan pihak terkait di dalam negeri, tetapi laporannya tidak mendapatkan titik terang.
“Deretan kasus diatas hanyalah sebagian kecil kasus Konflik Agraria di Sulawesi Tengah. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang hari ini diperjuangkan oleh petani-petani di pedesaan. Kami menaruh harapan kepada Gubernur Sulteng yang baru untuk memimpin dan mengambil alih penyelesaian konflik agraria di Sulawesi Tengah,” tutup Eva. (RIFAY)