PALU – Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulawesi Tengah mulai melakukan survei penguatan kebhinekaan disertai dengan literasi digital dalam rangka mencegah tumbuh dan berkembangnya gerakan intoleransi dan radikalisme.
“Riset ini sebagai tindaklanjut dari riset sebelumnya. Dalam implementasinya, survei melibatkan tim enumerator atau tim lapangan,” ucap Kepala Bidang Pengkajian dan Penelitian FKPT Sulteng, Dr Moh Irfan Mufti, di Palu, Kamis (09/07).
Sebelumnya, kata Irfan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah bekerja sama dengan lembaga riset terpercaya untuk melakukan riset di 32 provinsi se-Indoensia.
Riset tersebut salah satunya mengenai penguatan kebhinekaan, di mana berdasarkan hasil riset sebelumnya, gerakan radikalisme menunjukkan persentase yang cukup tinggi melalui peran keluarga dan rendahnya pemahaman kebhinekaan.
“Selain peran itu, perkembangan dan penanaman faham radikalisme juga dominan menggunakan media, sehingga penting untuk dilakukan literasi media,” sebutnya.
Irfan berharap, kehadiran tim enumerator saat ini, menjadi bagian penting untuk berkontribusi kepada BNPT dalam rangka penggalian informasi kepada masyarakat tentang seberapa besar pemahaman kebhinekaan dan literasi digital dalam upaya mencegah paham radikalisme di masyarakat.
“32 FKPT yang telah dibentuk oleh BNPT tentu saja didorong dalam upaya pencegahan faham-faham radikalisme agar tidak mengarah pada tindakan terorisme. Kehadiran FKPT semoga dapat menjadi bagian memperkuat tugas-tugas BNPT dalam upaya pencegahan tindakan radikalisme dan terorisme di daerah,” imbuhnya.
Terkait hal itu, Ketua FKPT Sulteng, Dr Muhd Nur Sangadji mengatakan, berharap, enumerator yang bertugas melakukan pengumpulan data secara face to face, dapat memperhatikan protokol kesehatan di era normal baru pandemi Covid-19.
“Maksud dan tujuan survei ini diantaranya mengukur perilaku masyarakat terkait literasi digital dan perilaku online, mengukur pemahaman masyarakat terkait kebhinekaan, dan mengukur persepsi terkait permasalahan kebhinekaan,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, teknologi berguna untuk banyak hal, namun juga akan berakhir buruk ketika disalahgunakan oleh penggunanya.
“Bahkan teknologi digunakan untuk mendoktrin seseorang atau sekelompok orang dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang salah satunya ialah nilai perbedaan,” ucap Nur Sangadji.
Kata dia, perbedaan adalah sesuatu yang sengaja diciptakan Tuhan. Olehnya, dalam bertindak perlu memperhatikan aspek keberagaman karena adanya perbedaan suku, bahasa, warna kulit, agama dan lainnya.
Dengan begitu, sebut dia, konstruksi berfikir harus cenderung melihat aspek keberagaman dan perbedaan. Dengan demikian akan tercipta kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat yang bersosialisasi dan saling dirindukan.
“Indonesia memiliki Pancasila sehingga kebhinekaan itu terwujud. Semua keberagaman dan perbedaan di Indonesia bernaung di Pancasila,” sebutnya. (RIFAY)