Dunia maya sering diramaikan dengan isu perceraian. Faktornya beragam, mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan berlaku abai terhadap hak-hak pasangan. Nafkah batin satu dari sekian banyak hak yang terabaikan.
Nafkah batin sendiri adalah pengeluaran atau pemberian seorang suami kepada isterinya yang bersifat non materi yang dapat dirasakan oleh hati dan nuraninya. (Satria Effendi M. Zein, Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi dalam Mimbar Hukum Islam dan Aktualasi Hukum Islam no.3 tahun 1991 [Jakarta:1991] h. 32)
Meskipun seperti itu, nafkah batin kerap dikonotasikan dengan hubungan ranjang suami isteri saja, dan makna ini yang menjadi fokus kita kali ini.
Ulama Islam bersilang pendapat perihal batas waktu suami boleh untuk tidak menafkahi batin isterinya.
Adapun pendapat mereka sebagai berikut:
Pertama, mazhab Hanbali dan sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan, bahwa wajib bagi suami memberi nafkah batin isterinya sekali setiap empat bulan. Ibnu Abidin Al-hanafi dalam kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar menyebutkan:
ويجب أن لا يبلغ به مدة الإيلاء إلا برضاها وطيب نفسها
Artinya: “Dan wajib (hubungan suami istri) untuk tidak melewati batas waktu ila’ (4 bulan) kecuali atas dasar kerelaan sang isteri.” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar,[Beirut: Darul Fikr,1992] juz 3, h. 202)
Ucapan yang selaras juga diungkapkan ulama dari mazhab hanbali Imam Bahuti dalam Syarh Muntahal Irodat:
(ويلزمه) أي الزوج وطء زوجته مسلمة كانت أو ذمية حرة أو أمة بطلبها (في كل ثلث سنة) أي أربعة أشهر (مرة إن قدر) على الوطء نصا
Artinya: “Dan wajib bagi seorang suami untuk bersenggema dengan isterinya, baik isterinya seorang Muslimah atau Kafir, merdeka atau budak dengan permintaan dari isteri, setiap 1/3 tahun, yakni 4 bulan lamanya jika sang suami mampu atas itu.” (Al-Bahuti, Syarhu Muntahal Irodat,[Beirut:‘Alamul Kitab,1993] juz 3, h. 44)
Kedua, mazhab Malikiyyah berpendapat, seorang suami wajib tiap empat hari sekali untuk menafkahi batin isterinya. Imam an-Nafrawi al-Maliki menuturkan dalam karyanya Al-fawakihud Dawani Ala Risalati Ibnu Abi Zaid Al-qoirowani:
والراجح أنها إذا شكت قلة الوطء يقضى لها في كل أربع ليال بليلة
Artinya: “Dan pendapat yang unggul bahwasanya jika sang isteri mengadu tentang sedikitnya senggema yang dilakukan oleh suami, maka seorang hakim mewajibkan kepada suami untuk melakukannya sekali di setiap empat hari.” (An-Nafrowi, Al-fawakihud Dawani Ala Risalati Ibnu Abi Zaid Al-qoirowani, [Beirut: Darul Fikr,1995] juz 2, h. 22)
Ketiga, pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i menyatakan, bahwa tidak ada kewajiban suami pada isterinya untuk menyetubuhinya. Sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfahnya:
ولا يجب عليه وطؤها لأنه حقه
Artinya: “Dan tidak wajib bagi suami untuk menyetubuhi isterinya, karena itu merupakan hak suami.”(Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj Wa Hawasyai Syarwani Wal ‘Abbadi,[Mesir: Al-Makatabah At-Tijariah Al-kubro, 1983] juz 7, h. 183).
Keempat, pendapat lemah dalam mazhab Syafi’i dan pendapat mazhab Hanafi mengklaim bahwa seorang suami wajib menafkahi batin isterinya satu kali seumur hidup. Sebagaimana ungkapan Ibnu Hajar dalam Tuhfahnya.
وقيل عليه مرة لتقضي شهوتها ويتقرر مهرها
Artinya: “Tapi, sebagian ulama (pendapat lemah) mewajibakannya satu kali seumur hidup guna menyalurkan syahwat sang isteri juga memastikan mahar untuk sang isteri.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj Wa HawasyaiSyarwani Wal ‘Abbadi,[Mesir: Al-Makatabah At-Tijariah Al-kubro, 1983] juz 7, h. 183).
Diksi yang senada juga dikemukakan Imam al-Kasani dalam Badai’us Sana’i:
وإذا طالبته يجب على الزوج، ويجبر عليه في الحكم مرة واحدة والزياة على ذلك تجب فيما بينه وبين الله تعالى من باب حسن المعاشرة واستامة النكاح
Artinya: “Dan jika (sang isteri) meminta untuk bersenggema maka wajib atas suami untuk memenuhinya, kewajibannya dalam hukum (di depan hakim) satu kali saja. Adapun lebih dari kadar itu maka wajib jika disandarkan antara dia dan Allah swt, sebagai bentuk baiknya hubungan dan kelanggengan hubungan.”(Al-Kasani, Badai’us Sana’I fii Tartibi Syara’i, [Beirut: Darul Kutub aAl-‘ilmiah,1986] juz 2, h.331)
Dari uraian di atas, bisa disimpukan bahwa ulama berbeda pendapat tentang batas waktu suami boleh untuk tidak menafkahi batin isterinya.
Ada yang membatasinya selama 4 bulan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali dan sebagian mazhab Hanafi.
Ada yang membatasinya dengan 4 hari saja, sebagaimana ungkapan mazhab Maliki.
Ada pula pendapat yang tidak membatasi sama sekali, bahkan tidak mewajibkan hubungan ranjang antara suami isteri, sebagaimana pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i.
Pendapat berikutnya dari kalangan mazhab Hanafi dan pandangan yang lemah dalam mazhab Syafi’i, yang hanya membatasi nafkah batin dengan satu kali hubungan saja, tanpa memagarinya dengan kurun waktu tertentu.
Perbedaan pendapat ini bisa kita jadikan solusi bersama jika keadaan mengharuskan kita untuk keluar dari mazhab yang kita anut. karena semua pendapat pasti bermuara dari Syari’at yang suci.
Akan tetapi, berangkat dari kaidah “keluar dari pebedaan merupakan sesuatu yang dianjurkan”, maka hendaknya setiap muslim mengamalkan pendapat mazhab Maliki. Karena dengan mengamalkan mazhab Maliki maka secara otomatis juga mengamalkan mazhab yang lain. Waulahu ‘alam.
Muhamad Sunandar (ALUMNI PONPES ALKHAIRAAT MADINATUL ILMI DOLO)