PALU- Festival Tampo Lore di Lembah Behoa, Sulawesi Tengah, 16 sampai dengan 18 Juni ini, akan mengusung semangat “merajut tradisi melestarikan hutan demi masa depan yang adil dan penghidupan berkelanjutan”.
Dalam pembangunan Tampo Lore, kebudayaan, adat istiadat, dan lingkungan menjadi satu kesatuan utuh dalam kehidupan masyarakat.
“Festival ini bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga terobosan bagi community enterprises yang berkelanjutan, menjadi katalisator dalam mendukung pembangunan berkelanjutan,” kata Mochammad Subarkah penyelenggara festival, di Palu, Senin (12/6).
Ia menyebutkan, tujuan utama festival ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan adat istiadat Tampo Lore, serta menjaga dan melestarikan sumber-sumber penghidupan masyarakat.
“Festival ini juga mendukung pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan bagi semua pihak,” ujarpnya.
Selain itu, tutur dia, festival ini mendorong pengelolaan ruang berbasis pembangunan ramah lingkungan, memperkuat komunitas masyarakat dari berbagai kalangan, seperti pemuda, perempuan, dan laki-laki, dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan serta adat istiadat di wilayah Tampo Lore.
“Festival Tampo Lore menjadi jalan bagi penghidupan dan community enterprises yang berkelanjutan untuk dilihat dan dihargai oleh masyarakat luas, sekaligus mendukung ruang kelola masyarakat dan pembangunan ekonomi lokal,” tuturnya.
Ia mengatakan, dalam upaya global untuk menyelamatkan ekologi, festival ini menjaga ekosistemnya serta komunitas, dengan melibatkan strategi-strategi seperti menciptakan ruang untuk menumbuhkan budaya dan mempertahankan adat istiadat Tampo Lore, mempromosikan kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, serta mendorong kebijakan yang mendukung produk lokal yang berkelanjutan.
Festival Tampo Lore merupakan festival berbasis lembah yang berlangsung di tiga wilayah lembah, yaitu lembah Pekurehua, Lembah Behoa, dan Lembah Bada di Kabupaten Poso.
“Festival ini pertama kali dilaksanakan di Lembah Pekurehua pada tahun 2019 oleh Konsorsium Relawan untuk Orang dan Alam – Yayasan Panorama Alam, NTFP Indonesia, dan Green Livelihoods Alliance. Kali ini, Festival Tampo Lore ke-2 akan diselenggarakan di Lembah Behoa dengan melibatkan masyarakat dari wilayah tersebut, pemuka agama, adat, dan pemerintah,” tuturnya.
Harapannya, festival ini memberikan manfaat dalam proses pembangunan, baik untuk masyarakat maupun pemerintah, dengan mengelola sumberdaya penghidupan secara arif dan berkelanjutan.
Sekretaris Dinas Kebudayaan Sulteng, Rachman Ansyari, mengungkapkan bahwa Festival Tampo Lore yang kedua ini merupakan kesempatan bagi pemerintah provinsi untuk lebih memperkenalkan Sulteng Negeri 1000 Megalit.
“Festival tersebut bertujuan untuk mengenalkan situs megalitik yang terdapat di tiga lembah di Kabupaten Poso, yaitu Lembah Pekurehua, Lembah Behoa, dan Lembah Bada,” katanya.
Rachman menjelaskan bahwa saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sedang mempersiapkan pencanangan Sulteng Negeri 1000 Megalit yang rencananya akan dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2023.
Oleh karena itu, dukungan terhadap Festival Tampo Lore menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam memperkenalkan Sulteng Negeri 1000 Megalit.
Rachman berharap bahwa festival ini dapat menjadi agenda rutin untuk mempromosikan budaya Sulteng kepada dunia luar, dan ia juga mengungkapkan perlunya dukungan dari semua pihak, termasuk media.
Rep: IKRAM/Ed: NANANG