Terbersit sedikit asa, bahwa Festival Sastra Banggai akan dilirik pemerintah setempat dan menjadikannya sebagai agenda tahunan yang membanggakan bagi Kabupaten Banggai.
Selain Bukit Kasih Sayang, Air Terjun Piala, Air Terjun Salodik, Pulo Dua Balantak, Pantai Kilo Lima, dan Bukit Keles, Festival Sastra Banggai (FSB) juga menambah daya tarik tersendiri untuk berkunjung ke Kabupaten Banggai.
Festival Sastra Banggai (FSB) rutin digelar sejak tahun 2017, dengan menghadirkan para penulis dan seniman dari berbagai kota untuk membicarakan banyak isu yang sedang hangat.
Festival sastra juga menunjukkan bahwa di kota teluk itu, geliat sastra dan literasi masih ada. Makin meningkat dari tahun ke tahun, meskipun adanya di sebuah kota kecil tanpa toko buku.
Sejak 2017 hingga 2021, FSB sukses digelar di pertengahan tahun, walaupun tahun ini agak molor menjelang akhir tahun, tepatnya di November tanggal 24 sampai 27.
FSB tahun keenam ini, berakhir dengan hangat dan manis. Seperti lagu Kapal Udara yang dilantunkan di malam kedua FSB yang berjudul “Menanam”, sesungguhnya yang dikerjakan dalam festival ini adalah menanam harapan. Harapan besar yang tolok ukurnya bukan dengan waktu, melainkan ketika ekosistem literasi yang bertumbuh dan distribusi pengetahuan yang setara-merata.
“Kerja-kerja kemanusiaan untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan ini tak mudah. Setiap yang bergelut di dalamnya mengorbankan masa muda, barangkali juga waktu untuk bersenang-senang. Relawan kami yang banyak anak SMA, saya tahu mereka bekerja keras,’’ kata Ketua Yayasan Babasal Mombasa, sekaligus Direktur FSB, Ama Achmad
Tidak Didukung Pemerintah Daerah
Festival Sastra Banggai keenam dimulai dengan kerja keras dan ketabahan menunggu kabar baik. Itulah mengapa pelaksanaannya sampai diundur beberapa bulan karena terkendala pendanaan.
Tahun 2019, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai sempat mendukung event bergengsi ini, termasuk pendanaan, dan mengkordinir para OPD untuk ikut serta dalam berbagai sesi. Meski pendanaan itu tidak banyak, tetapi Ama mengatakan bahwa dana itu dapat dikelola dengan baik.
Dua tahun setelah 2019, FSB dilaksanakan hybrid, tanpa ada dukungan pemkab, bahkan hingga tahun 2022 ini, ketika pelaksanaan festival dilangsungkan dengan meriah dan hikmat secara luring, di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Teluk Lalong Luwuk, ruang kelas SMAN 3 Luwuk, dan di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Luwuk.
Event yang besar dan meriah itu didanai oleh Dana Indonesiana, Lembaga Pengelola – Dana Pendidikan (LPDP) sebagai sponsor utama.
Selain Dana Indonesiana, FSB juga disponsori Donggi Senoro LNG, Pertamina EP, MIWF, Draiv, Relawan Orang dan Alam (ROA), BSI, Tosca Cinemapicture, CV Raka Pratama, dan KODIM. Sementara dukungan tidak berupa uang juga mereka dapatkan dari berbagai sponsor lainnya.
“Kami menunggu kemungkinan baik, yang pasti ada, dan akhirnya ada tangan terulur yang mewujudkan hadirnya Tautan Keenam: Mengungkai Acak, Menyimpul Padu. Tema ini bermaksud menarik filosofi montolutusan-mengumpulkan yang ‘berserak’ dan mengumpulkannya jadi satu-padu dalam lingkup persaudaraan,” terang Ama.
Penulis dan Seniman yang Hadir
Titik pijak Festival Sastra Banggai adalah kerelawanan; saat pengetahuan didistribusi melalui pembicara atau narasumber yang hadir. Pun ketika pertunjukan-pertunjukan seni dan budaya digelar untuk masyarakat Banggai Bersaudara.
Festival Sastra Banggai menjalin kolaborasi dan mengandalkan kerja jejaring dengan perkumpulan atau festival serupa di luar Kabupaten Banggai.
Kerja kolaborasi adalah kunci untuk membuat setiap gerakan literasi, pendidikan, dan kebudayaan terus berjalan, bertumbuh, dan seterusnya ada. Kerja kolaborasi sudah sejak awal dilakukan, seperti menyimpul ikatan dengan Makassar International Writers Festival (MIWF), menautkan jemari dengan Patjarmerah, menggandeng Nemu Buku, dan menjalin ikatan dengan kawan-kawan di luar Kabupaten Banggai, yang dengan tulus memberi diri untuk keberlanjutan festival ini.
Festival ini adalah pengalaman dan peristiwa menjadi manusia, di mana penulis, seniman, akademisi, membaur dengan tim kerja dan relawan. Tidak ada sekat, yang ada kehangatan yang murni antar manusia.
Tahun 2022 ini hadir Eko Saputera Poceratu, penyair asal Maluku yang lekat dengan puisi-puisinya yang satire, seperti penggalan syairnya, “Apa beta harus Jakarta baru bisa dibilang Indonesia? Apa beta harus makan nasi baru dibilang NKRI? Kalau keadilan seperti itu, bagaimana perasaan bisa menyatu? Apa katong harus makan sawi untuk jadi manusiawi? apa katong harus satu ras untuk jadi manusia waras? Kalau kemanusiaan sedangkal itu dan kebinatangan sedalam laut bagaimana cinta akan terselami?”
Selain Eko, Wessly Johannes dan Theoresia Rumthe (yang juga penyair asal Ambon), Ahmad Arif (wartawan Harian Kompas sejak 2003) Aya Canina (penulis dan mantan vokalis Band Amigdala), Darmawati Majid (Emerging Writer UWRF 2018, dan peneliti di Balai Bahasa Gorontalo), dan AS Rosyid, (penulis dari Lombok yang fokus pada isu-isu ekologi).
Ada juga Genta Kiswara, Deasy Tirayoh, Reza Nufa (penulis dan memimpin redaksi Basabasi), Fatris MF, Irawita (seniman asal Jakarta), JS Khairen, Kapal Udara (penampil), Bengkel Seni Bias (penampil), Mustafa Abd Rahim (Wakil Rektor Unismuh Luwuk).
Tak ketinggalan Zaedar A Dg Masese (Dosen Untika), serta Maria Pankratia, Ilda Karwayu, Riyana Rizki, dan Margareth Ratih Fernandez, para penulis/eitor/periset yang hadir secara daring melalui program period x FSB.
Menuju Festival Sastra Banggai 2023
Dari Yayasan Babasal Mombasa ide festival ini lahir. Begitu pun dengan Babasal Mombasa yang lahir dari perbincangan di sebuah kafe. Kegelisahan dan kecemasan yang sama tertuang di cangkir-cangkir kopi yang disesap dengan pelan.
Babasal Mombasa pun tidak lahir dari tangan siapa pun, murni dari kesadaran untuk terbentuknya ekosistem literasi dan distribusi pengetahuan yang setara.
Ama mengungkapkan bahwa sejak awal Babasal Mombasa tidak berafiliasi dengan partai atau tokoh mana pun. Ia berdiri di atas kaki sendiri-mencoba tangguh dan mandiri. Babasal Mombasa sadar betul, perjalanan masih panjang dan tidak semua orang akan paham bahwa literasi sebagai kecakapan hidup itu penting untuk terus dibangun.
“Menuju Narasi Ketujuh Festival Sastra Banggai 2023, harapan terbesar kami, terbukanya kanal dukungan dari Pemda Kabupaten Banggai, sebab kerja-kerja ini tak pernah mudah. Menjadi satu-satunya festival sastra yang dibuat di kota tanpa toko buku, Babasal Mombasa melakukannya dengan nekat,” ungkap Ama.
“Ketika Jakarta memiliki Jakarta International Literary Festival, Makassar dengan Makassar International Writers Festival, Bali dengan Ubud Writers and Readers Festival, Flores dengan Flores Writers Festival, maka daerah ini patut berbangga memiliki Festival Sastra Banggai,” imbuhnya.
Kota ini memiliki satu identitas baru, tempat sebuah pekan literasi dan sastra yang dilaksanakan dan dikerjakan dengan penuh komitmen dan ketulusan.
Ketika festival ini berdiri dalam sunyi di antara riuh ramai kegiatan yang dilaksanakan Pemkab Banggai, di luar sana keberadaan festival ini dihargai dan dibanggakan banyak orang.
Ada sedikit harapan yang tersirat, bahwa Festival Sastra Banggai ini akan dilirik Pemkab Banggai dan menjadi perayaan tahunan yang membanggakan bagi Kabupaten Banggai.
“Festival ini barangkali mampu menjadi kebanggaan bagi pemerintah daerah, sebab di antara deretan festival serupa yang diadakan, Festival Sastra Banggai adalah salah satu keberanian yang dilakukan sehimpun anak-anak muda untuk kerja-kerja kemanusiaan,” tuturnya.
Jika Narasi Ketujuh Festival Sastra Banggai masih berjalan dalam sunyi, satu hal yang dipercayai tim kerja Festival Sastra Banggai adalah bahwa akan selalu ada tangan terulur dan pintu yang terbuka.
“Jika pun kerja-kerja kemanusiaan untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan ini tidak dilirik atau bahkan dianggap tidak penting, Babasal Mombasa akan tetap kembali pada titik pijaknya-menjadi ruang belajar dan distribusi pengetahuan bagi masyarakat Banggai dengan semangat kerelawanan,” tutup Ama.
Reporter : Iker
Editor : Rifay