Festival Sastra Banggai Tahun Ketujuh Berakhir dengan Hangat

oleh -
Mahfud Ikhwan dan Maria Pankratia saat sesi bincang-bincang 10 karya sastra terbaik Indonesia. (FOTO: DOK. FSB-UTA ANDIKA)

Beberapa media lokal menyorot betapa hangatnya festival di kota kecil itu. Para penulis meninggalkan jejak di akun media sosial mereka. Masih sama, menyoal kehangatan festival sastra di tepi teluk lalong. Para tim kerja dan relawan masih menyimpan banyak cerita antara panitia dan penulis.

Perayaan-perayaan yang hadir di daerah memang memberi keintiman yang lebih dibandingkan hajatan di kota-kota dengan kesibukan jalanan saat jam pulang kantor.

Festival Sastra Banggai (FSB) adalah satu dari sedikitnya pesta literasi di daerah yang memberi pesan kepada semua yang terlibat.

Tahun ini, ketika para pendukung caleg sibuk memasang baliho dan memenuhi bahu-bahu jalan, tim kerja FSB juga getol menyiapkan tahun ketujuh dengan tema Mendedah Cuaca Memperpanjang Usia Bumi. Di kota berpunggung bukit dengan lekuk di halaman depannya, gelaran sastra dengan tema mendesak itu berlangsung selama empat hari, tanggal 06 sampai 09 September lalu.

Kegiatan-kegiatan seminar dan diskusi bersama seniman, novelis, penyair, jurnalis, akademisi, aktivis lingkungan, juga tokoh pemerintah tersebar di kampus Unismuh, SMA Negeri 1 Luwuk, SMA Negeri 3 Luwuk, dan gazebo-gazebo serta lokasi-lokasi di bawah pohon juga tenda sernafil yang disiapkan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Teluk Lalong.

Kehangatan itu disampaikan AS. Rosyid, penulis asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tahun 2023 adalah kali keduanya datang ke Kota Luwuk. Rosyid berbicara dua sesi, Agama dan Mitigasi Bencana, juga berbagi tentang Gerak-gerak Sastra di daerah asalnya. Di waktu-waktu terpisah, ia memandu beberapa diskusi.

Lomba menggambar untuk siswa SD. (FOTO: DOK. FSB-UTA ANDIKA)

“Festival sastra Banggai ini berharga. Saya tahu setiap sastra menajamkan pikiran dan membajakan mental, tapi sastra Banggai menawarkan jalan lain, sastra yang menguatkan hati dan persaudaraan,” ujarnya, dikutip dari laman instagram milik penulis buku Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam itu.

Festival Sastra Banggai, lanjut Rosyid, selalu ditandai dengan tukar peluk. Mereka yang datang pertama kali akan pulang membawa pelukan. Mereka yang datang kedua kali akan disambut pelukan bertubi-tubi.

“Tukar peluk tiba-tiba menjadi tanda khas Fesitval Sastra Banggai. Seolah-olah pelukan adalah rumah yang dibuka untuk membiarkan semua orang mengatakan segala perasaannya. Luapan perasaan itu terjadi berkesalingan dan tidak terlukiskan bahasa apapun. Di sana hanya ada pelukan, senyuman, dan atau air mata,” tambahnya.

Melihat tata letak panggung di lokasi utama, hangat memang berpijar dari sana. Di depan panggung papan yang ditutupi permadani merah, bangku-bangku mini di atur di atas rumput. Para penulis, pengunjung, dan panitia yang tidak sedang sibuk, bercengkerama di jantung venue.

Cerita-cerita tentang politik, musik, sastra dan lainnya mengalir tanpa batas. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika panggung dibuat tinggi, mewah, tapi memberi jarak.

Senada dengan Rosyid, kehadiran Reda Gaudiamo, dalam sesi-sesinya selalu berakhir dengan pelukan dan air mata. Sama seperti buku-bukunya yang hangat dan penuh kasih, Reda memeluk hampir semua yang mengikuti bagiannya, termasuk siswa-siswa SMA.

“Dua sesi Reda Gaudiamo di siang hari. Menulis cerita anak, dan Hey, Nak: Bagaimana Harimu. Di sesi Hey, Nak: Bagaimana Harimu, hampir semua orang menangis, semua barangkali. Mereka bercerita mereka dibully, dikatai fisik mereka. Teman-teman mereka menjauhi mereka,” aku Ama Gaspar, Direktur FSB yang menjadi pemantik di sesi Reda Gaudiamo.

Dua malam berturut-turut, Reda bernyanyi di panggung dengan dekorsi menggunakan beberpa lonjor bambu. Ia berduet dengan Bagus Dwi Danto, menyanyikan lagu-lagu tenang, di tepi teluk dengan senang. Esok malam, Reda melantunkan sajak-sajak Sapardi menjadi musikalisasi puisi.

Ditemui setelah FSB, Ama Gaspar, mengatakan bahwa perjalanan menuju tahun ketujuh bukanlah mudah. Sebagian orang menyebut apa yang mereka lakukan sangat nekat, sebab mengambil sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh negara. Tidak sedikit yang menganggap gelaran sastra itu gila dan nirmnfaat.

“Tetapi seperti yang senantiasa kami ucapkan saat-saat terbentur dan hampir goyah, besar atau kecil, mewah atau sederhana, Festival Sastra Banggai akan hadir setiap tahun,” ucap Ama.

Meski pelukan kerap menjadi akhir sebuah sesi, tetapi tidak melulu tentang tangisan. Di sesi Dadang Ari Murtono, peserta diskusi justru seringkali tertawa. Dadang menjelaskan tentang bagaimana pertemuannya dengan hujan dalam sastra melalui cerpen Sapardi.

Karib hadir dalam diri semua penulis dan pengisi acara. Seperti Eko Saputera Pocerato, Yardin Hasan, Maria Pankratia, Neni Muhidin, Reza Nufa, Ikerniaty Sandili, Rachmad Mustamin, Alisan, Dhianita, Mohammad Pahlawan, Bagus Dwi Danto, Mahfud Ikhwan, Ferdy Salamat dan Agustinus Wibowo.

Agustinus Wibowo juga menuliskan pengalamannya di akun instagrammnya @agustinusjourney tentang perjalanannya ke “Kota Berair” itu. Awalnya ia mengira Luwuk adalah Luwu di Sulawesi Selatan. Nama Banggai semula hanyalah sebuah titik samar di peta baginya.

“Festival ini mengukir kenangan mendalam di hati saya. Ini adalah festival sastra yang digelar di kota yang bahkan tak memiliki toko buku. Setibanya saya di Banggai, saya merasakan aura unik FSB. Acara berlangsung di pinggir teluk pantai yang memesona, dengan gazebo terbuka ditembus angin,” ucap Agustinus, penulis buku perjalanan, satu di antaranya Selimut Debu.

Perihal tema iklim sebagaimana tema FSB tahun ketujuh, ada 7 bagian diskusi yang membahas isu genting itu, termasuk sesi AS. Rosyid.

Kelima sesi lainnya adalah Jejak Karbon Manusia (Yardin Hasan dan Mohammad Pahlawan), Perspektif Seni antara Manusia dan Alam (Mahfud Ikhwan dan Bagus Dwi Danto), Wacana Perubahan Iklim (Yardin Hasan), peluncuran buku Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu (Ikerniaty Sandili), Neutrality Carbon pada 2050: Mungkinkah? (Neni Muhidin dan Ferdy Salamat) dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kabupaten Banggai (Bupati Banggai, Amiruddin Tamoreka).

Pada bagian Yardin dan Moh. Pahlawan, mereka mengajak peserta diskusi menghitung jejak karbon masing-masing dengan menggunakan aplikasi. Sebab setiap individu menghasilkan jejak karbon dari apa yang ia gunakan dan konsumsi. Misalnya penggunaan AC, kendaraan bermotor, telepon genggam, dan lainnya.

Tidak hanya mata acara bersama orang dewasa, yang memberi menggaris kesan akrab itu. Kegiatan bersama anak-anak dalam lomba mewarnai dan menggambar serta Kelompok Belajar dan Bermain (KBB).

“Tema KBB juga tentang iklim. Ini untuk siswa SD, sedangkan untuk siswa PAUD dan TK, mereka mendengarkan dongeng. Untuk KBB sendiri, adik-adik diajak berkeliling 3 pos untuk belar tentang cuaca, pengelolaan sampah, dan bencana alam,” pungkas Fitra, tim KBB.

Penulis : Iker
Editor : Rifay