Kenikmatan dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Ta’ala. Mereka berjuang siang dan malam demi kesuksesan duniawi semata.

Limpahan kekayaan dalam pandangan mereka merupakan pertanda kemuliaan hidup dan sumber martabat. Sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan dan kehidupan ekonomi yang sulit di mata mereka menjadi petunjuk kehinaan.

Ada banyak orang yang dililit kemiskinan dan kefakiran harta dimaknai sebagai sebuah kehinaan. Karena itu menjadi rendah diri, merasa tak berdaya, hingga acapkali menghinakan diri sendiri. Akumulasi karakter itu akan mengempaskan pada jurang keputusasaan. Kegairahan untuk bangkit dan berjuang pun hilang.

Langkah nyata menghindarkan diri dari keterpurukan pun tak akan kembali muncul. Kegairahan hidup harus terpelihara, walau di tengah kemiskinan dan kefakiran. Miskin dan kefakiran mesti menjadi daya pengungkit bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik.

Perasaan hina karena kefakiran harus ditumbangkan, karena sangat tidak beralasan.Islam pun tidak mengenal perspektif demikian. Karena kehinaan bukan milik si fakir, tapi mereka yang tidak beriman dan tak menaati Allah SWT.

”Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.” (QS Attaubah [9]: 63).

Untuk menjaga kegairahan hidup, Islam memandang bahwa mereka yang fakir sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT. Kefakiran bukanlah azab yang dilaknat, tapi ujian yang dapat mendatangkan kebaikan.

Seperti sabda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang fakir, karena makhluk yang paling dicintai Allah adalah para Nabi, maka Allah menguji mereka dengan kefakiran”.

Rasulullah SAW pun bermunajat agar dimatikan bersama orang fakir. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ”Ya Allah, matikanlah aku sebagai orang yang fakir dan jangan matikan aku sebagai orang kaya. Kumpulkanlah aku nanti pada hari kiamat dalam rombongan orang-orang miskin”.

Sabda Rasulullah SAW itu bukan meninabobokan agar nyaman bersama kefakiran. Lalu, lari dari hidup yang berkecukupan. Namun, untuk mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri, di tengah penghinaan dan pengucilan manusia yang menilai kemuliaan dari keberlimpahan harta.

Janji Allah SWT dan Rasulullah SAW yang selalu bersamanya, mencintainya, dan membelanya, hendaknya menjadi pemulih optimisme dalam mengarungi kefakiran.Ini juga menjadi modal untuk menggiatkan kemauan berusaha, bekerja lebih keras, juga kreatif.

Seperti giatnya sahabat yang fakir di masa Rasulullah SAW saat berkompetisi dengan sahabat yang berharta dalam mengisi kehidupan, dengan karya-karya sesuai kemampuan mereka.

Tetap produktif, berkontribusi, dan tak membebani orang lain telah menjadi karakter mereka. Kefakiran bukanlah penghambat, tapi penyemangat untuk berebut kebaikan dan pahala di tengah keterbatasan. Karena di tengah keterbatasanlah, segalanya lebih dilipatgandakan oleh Allah Yang Maha Kaya.

Bagi yang sedang tidak fakir, bersiap siaplah selalu karena pada dasarnya hidup itu kadang dibawah terkadang diatas sehingga tetap selalu bersyukur atas karunia Allah.

Bagi yang sedang fakir, tidak perlu berputus asa. Allah berikan ujian dan beban hidup pasti sesuai dengan kadar kemampuan, dan tidak perlu merasa iri dan berpikir negative kepada orang kaya.

Iri yang benar hanya berlaku dalam dua hal: “Tidak ada (sifat) iri (yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah tentang al-Qur-an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur-an)nya dan berkata: “Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur-an) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur-an) seperti yang diamalkannya.

Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari) Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)