Evaluasi Kemerdekaan Pers 2022, Akademisi Sarankan Media Perketat Rekrutmen Jurnalis

oleh -
Dari kiri- Pemimpin Redaksi MAL Online, Nurdiansyah, Sekretaris AMSI Sulteng Abde K Mari dan Akademisi Untad Achmad Herman saat memaparkan materinya di Baruga Lapangan Walikota Palu,Jumat (30/12). Foto : IKRAM

PALU- Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu menyarankan agar rekrutmen jurnalis di media lebih diperketat, dan paling baik punya pendidikan jurnalistik.

“Terkuaknya fakta salahsatu jurnalis televisi pemerintah tiba-tiba dilantik sebagai Kapolsek Kradenan Blora, Provinsi Jawa Tengah ini merupakan pelecehan profesi jurnalis dan pencederaan kebebasan pers di Indonesia sebab tidak menghargai profesi jurnalis,” kata Akademisi Untad Achmad Herman pada diskusi akhir tahun dengan tema “Evaluasi Kemerdekaan Pers 2022” diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu di Baruga Lapangan Wali Kota Palu, Jum’at (30/12).

Olehnya kata Dosen Ilmu komunikasi ini, dewan pers harus mengevaluasi guna melihat dampak ditimbulkan akibat penyamaran yang memakai identitas profesi jurnalis, karena dia tidak sedang menjalankan profesi jurnalistik. Tapi menjalankan fungsi lain tentu tidak sesuai standar jurnalisnya.

Hal ini kata dia, demi menjaga indepedensi media dari Infiltrasi lembaga lain. Mekanisme keanggotaan pers perlu diteliti dan cermat.

“Pemahaman dan pengetahuan kode etik jurnalistik makin ditingkatkan,” katanya.

Ia mengatakan, posisi jurnalis sendiri saat ini berada di era post truth. Era post truth adalah hal-hal berkaitan dengan tindakan berita atau informasi tidak berdasarkan fakta yang obyektif atau terbukti kebenarannya.

“Di sinilah terjadi perdebatan dan pertentangan, orang lebih mempercayai apa yang diviralkan, dari pada apa yang ditulis,” ucapnya.

Ia mengatakan lagi, kalau mau cepat selesai masalah, viralkan dulu. Jikalau sudah viral, masalah itu cepat selesai. Karateristik era post truth sendiri mengadu emosi masyarakat, mengabaikan data dan fakta, memviralkan berita tidak jelas kebenarannya, menggabungkan gerakan populer dan teori konspirasi.

“Dan menggaungkan narasi buatan terhadap kejadian tertentu dan membangun opini dengan mengindahkan fakta atau satu pihak,” sebutnya.

Jadi tidak bisa dipungkiri kata dia, jurnalis sekarang berada di era post truth dan semakin diteguhkan media sosial. Media sosial membuat satu langkah baru dan kemudian tidak lagi percaya benar atau salah.

Sekretaris AMSI Sulteng Abdullah K Mari, bukanlah baru pers selalu tempat belajar bagi berhubungan langsung dengan pemerintah, karena melalui pers beberapa tempat-tempat mungkin tidak bisa dimasuki pihak lain, pers bisa mengaksesnya.

“Sisi positifnya intel menyamar jadi jurnalis tidak diketahui bahkan oleh pimpinannya sendiri. Artinya kelebihan intelejensi kita di Indonesia sudah mulai diperhitungkan banyak pihak,” bebernya.

Sisi negatif jurnalis kecolongan, karena kata dia, jurnalis tidak tahu oknum menumpang informasi di sekitarnya. Olehnya pola rekruitmen jurnalis perlu diperbaharui atau boleh ditiru dari rekruitmen media lain, bukan hanya akademiknya saja ditelusuri tapi punya kurikulum tersendiri dilewati oleh calon jurnalis, untuk bisa menjadi organik.

“Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sendiri kedepan 2023, memperketat pola rekruitmen keanggotaannya. Seperti apa pola rekru

tmen di redaksi, sirkulasi pengelolaan informasi dan manajerialnya,” ucapnya.

Itu harus diselesaikan oleh calon-calon anggota baru, untuk menjadi anggota AMSI. Munculnya ribuan media online Indonesia punya beban besar tersendiri bagi AMSI dan AJI.

“Ada fenomena baru di Indonesia harus bersaing dengan tiga platform besar yakni, Facebook, google, amazone saat ini menguasai 59 persen pasar iklan dunia . Sehingga media-media besar harus memutar otak bagaimana bisa bersaing dengan ketiga platform tadi, guna mendapatkan iklan,” pungkasnya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG