OLEH: Edi Lukito*
Politik selalu menjadi isu menarik untuk dibahas. Pun, semua isu dalam dinamika kehidupan ini tak pernah lepas dari politik.
Namun, bagi beberapa orang, politik cenderung dipahami sebagai tipu muslihat, alat untuk mengelabui, memperbudak dan memenjarakan seseorang, serta alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Peyorasi makna ini disebabkan oleh para aktor politik itu sendiri. Akibatnya masih banyak orang yang tidak peduli dan bahkan menghindari perbincangan mengenai politik.
Orang-orang ini bisa jadi adalah para agamis, yang mengganggap agama itu suci sehingga tidak pantas dicampuri dengan sesuatu yang kotor seperti politik. Atau bisa jadi orang-orang itu adalah para negarawan, yang sangat licik dan culas, sehingga mereka berusaha memisahkan politik dari nilai-nilai agama, yang hanya akan menghalangi ketamakan mereka.
Pandangan di atas tidak benar.
Justru, agama dan politik memiliki relasi yang erat. Agama, dalam kelangsungannya, tak pernah lepas dari unsur politik. Begitu pula politik, harus menunggangi nilai-nilai agama agar berjalan pada lintasan yang benar.
Misalnya, dalam dakwah agama Islam, Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah melakukan gerakan politik paling bersejarah di dunia dengan membuat Piagam Madinah, yang isinya ingin menyatukan penduduk asli kota Madinah dengan pendatang dari kota Mekkah. Serta banyak lagi, kaidah-kaidah agama Islam yang mengatur tentang bagaimana Islam berpolitik, dan bagaimana seharusnya politik itu dijalankan.
Salah satu buku yang ditulis Prof. M. Quraish Shihab yang baru diterbitkan pada September 2023 lalu dengan judul ”Islam dan Politik” saya rasa cukup untuk memahami relasi dasar antara agama (dalam hal ini Islam) dan politik.
Peluncuran buku ini tepat pada tahun politik (Pemilu 2024), sehingga menjadi petunjuk dalam memandang laku politik, yang ditampilkan oleh para aktornya, dari sudut pandang Islam. Itu alasan mengapa saya tertarik untuk membaca buku ini.
Seperti buku-buku ilmiah pada umumnya, di awal buku ini Prof. Quraish Shihab mendudukan terlebih dahulu definisi Islam dan definisi politik.
Islam dalam bahasa arab bisa berarti damai dan penyerahan diri. Dalam arti damai, Islam mendambakan kedamaian personal dan komunal bagi para seluruh umat manusia.
Sedangkan arti penyerahan diri, lebih khusus pada pemeluknya agar menyerahkan diri secara total-lahir dan batin, jasmani dan rohani, fisik, akal, dan hati kepada Allah. SWT.
Sementara makna politik dalam tinjauan Islam adalah selaras dengan makna yang dikemukakan Aristoteles, sejak zaman Yunani Kuno, yakni usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Kendati kata politik, dalam bahasa arab adalah siyasah, tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Kasus ini pun yang menjadi dasar beberapa kelompok dalam Islam menyatakan bahwa Islam tidak membahas tentang masalah politik.
Padahal banyak kasus serupa, misal kata aqidah dan fadhilah yang juga tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, tetapi Islam sangat dihiasi dengan bahasan tentang keduanya.
Politik/siyasah pun demikian, kita dapat temukan padanan dan hakikatnya di dalam Al-Qur’an pada kata hikmah.
Hikmah dimaknai sebagai sesuatu yang bila dipraktikan dengan baik akan menghilangkan kesulitan atau mendatangkan manfaat yang lebih besar.
Dari sini dapat dipahami bahwa pelaku politik itu disebut hakim/orang yang bijaksana yang dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki ilmu, seni, dan akhlak.
Ilmu diperlukan agar ia mampu melaksanakan tugasnya. Seni diperlukan agar para rakyat merasa nyaman di bawah kendalinya saat ia berpolitik. Terakhir akhlak, sangat perlu agar dalam berpolitik seseorang tidak mengganggu dan merugikan orang lain dan agar politik tetap berada pada jalur yang benar sesuai cita-cita dan tujuannya.
Lebih lanjut mengenai syarat dan kewajiban para pelaku politik, atau kita bisa sebut para pemimpin masyarakat, berdasar pada Al-Qur’an, beliau memaparkan dua ayat:
Pertama, QS. al-Hajj ayat 41, di sini terkandung perintah ketika seseorang telah menjadi pemimpin hendaknya selalu melaksanakan sholat dalam arti memperhatikan tuntunan agama-Nya, melaksanakan zakat dalam arti mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dengan terpenuhinya kebutuhan pokok masing-masing, dan terakhir menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar yakni upaya untuk menciptakan masyarakat yang bersih atas dasar nilai-nilai dan norma-norma agama, moral, dan budaya.
Kedua, QS. Al-Anbiya’ ayat 73, ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang hendak diangkat menjadi pemimpin adalah mereka yang telah terbukti amal kebajikan dan kemampuannya kalau perlu melalui uji kelayakan.
Para pemimpin juga hendaknya memiliki kemampuan di atas rata-rata para masyarakatnya, sehingga masyarakat dibimbing ke arah yang lebih baik dan sempurna.
Sehingga persoalan mengenai memilih pemimpin bukan hanya sekadar memilih mereka yang mampu, namun memilih mereka yang dapat menjadi teladan bagi seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya Prof. M.Quraish Shihab membahas mengenai pengangkatan kepala negara/pemimpin masyarakat.
Dalam praktiknya pemilihan kepala negara bisa melalui perwakilan orang-orang yang adil, berpengetahuan, dan memiliki kematangan berpikir.
Dalam Islam metode seperti ini di sebut Ahl al-Hal wal Aqd. Atau pemilihan kepala negara langsung oleh seluruh masyarakat.
Pemilihan dengan cara kedua ini lebih menjamin kedaulatan sebenarnya ada di tangan rakyat.
Namun, metode seperti ini akan kurang objektif. Sebab tidak semua masyarakat memiliki kemampuan yang bijaksana dalam menentukan pilihan.
Golongan inilah yang rentan dimanfaatkan oleh para penguasa culas dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Yang terpenting pada bab ini, Prof. M. Quraish Shihab memberikan sebuah wejangan singkat, ”Setiap orang harus berpikir secara tulus untuk menemukan yang terbaik, lalu mengusahakan untuk menjadikannya pejabat. Itu harus dilakukannya tanpa terpengaruh oleh materi, hubungan keluarga, atau kelompok/partai, karena kalau tidak ia berdosa.”
Wejangan sederhana ini harus disadari oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai pemegang penuh kedaulatan negara, agar terpilih pemimpin yang berkualitas bagi mereka.
Masih banyak lagi nasihat-nasihat penting seputar politik yang menghiasi setiap lembar buku ini.
Selain itu buku ini juga dilengkapi contoh praktik politik Nabi Muhammad. Saw dan para sahabatnya, yang semakin menambah wawasan kita agar dapat mempraktikkan politik yang berkeadaban di era gempuran orang-orang yang haus kekuasaan.
Selain menitikberatkan pada etika berpolitik, buku ini juga menyinggung beberapa masalah fiqih politik yang masih menjadi ikhtilaf di kalangan ulama.
Seperti hukum memakzulkan kepala negara, hukum mengikuti pendapat mayoritas, dan hukum berkampanye, dan hukum menegakkan prinsip demokrasi.
Kemudian yang menjadi masalah ketika membaca buku ini, saya harus membacanya berulang kali dan mencoba menerka maksud penulis dalam kalimatnya.
Sebab, dalam penulisannya masih banyak kesalahan dalam peletakan tanda baca, huruf kapital, dan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya. Sehingga buku ini masih perlu disempurnakan dari segi editorial.
Terlepas dari kekurangan tersebut. Buku ini sangat recommended untuk dibaca bagi para pelajar, mahasiswa, aktivis, dan terutama bagi para elite politik untuk menghayati dan mempraktikkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, pembahasan di dalam buku ini sangat ilmiah dan ringkas, sehingga cocok menjadi pengantar bagi mereka yang ingin mengetahui lebih mendalam mengenai relasi antara Islam dan Politik.
Judul Buku: Islam dan Politik
Penulis: Prof. M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Cetakan Pertama, Sepetember 2023
Jumlah halaman: 201
*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Kairo