OLEH: Muhammad Yunus Kasim*

Trust Deficit, Risiko Investasi yang Paling Mahal

Dalam buku pedoman manajemen investasi mana pun, Anda tidak akan menemukan bab berjudul “Risiko Oplosan BBM.”

Namun, insiden batalnya pembelian BBM Pertamina oleh perusahaan swasta asing karena kandungan etanol 3,5% itu justru mengajarkan pada kita pelajaran paling mahal: risiko terbesar seringkali bukan pada aset berwujud, melainkan pada aset tak berwujud yang disebut ‘kepercayaan’ (trust).

Kepercayaan adalah mata uang universal yang nilainya menentukan harga dari semua aset lainnya—mulai dari harga saham, hingga imbal hasil (yield) obligasi. Ketika kepercayaan runtuh, yang terjadi adalah koreksi fundamental terhadap valuasi seluruh portofolio investasi di sebuah negara.

Sebagai seorang ahli manajemen keuangan perusahaan, saya memandang insiden ini melalui biaya modal (cost of capital).

Setiap negara dan korporasi memiliki “premium risiko” yang diterjemahkan oleh pasar ke dalam suku bunga yang harus mereka bayar. Insiden etanol 3,5% ini adalah sebuah sinyal terang bahwa premium risiko Indonesia—khususnya pada aspek tata kelola (governance) dan integritas operasional—harus segera ditinjau ulang ke atas.

Bayangkan logika seorang fund manager di London atau New York. Jika pada komoditas yang paling dasar seperti BBM, yang spesifikasinya baku secara global, standarnya bisa dilanggar, lalu apa jaminan untuk proyek infrastruktur senilai triliunan rupiah?

Prinsip dasar manajemen portofolio adalah diversifikasi risiko. Insiden ini membuat Indonesia bukan lagi sebagai “negara dengan potensi tinggi namun risiko wajar,” melainkan bergeser ke dalam kategorisasi “risiko tata kelola sistemik.”

Seorang analis mungkin akan mengutip pernyataan Warren Buffett, “It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.” Butuh 20 tahun membangun reputasi, dan hanya 5 menit untuk menghancurkannya.

Kerusakan itu kini terjadi, dan kita semua yang akan membayar tagihannya melalui bunga utang yang lebih tinggi dan valuasi saham yang lebih rendah.

Arus Modal dan Reputational Risk: Ketika Foreign Direct Investment (FDI) Menguap.

Dampak langsung yang paling terasa dalam kerangka manajemen keuangan adalah pada arus modal. Investor tidak hanya menilai fundamental ekonomi (fundamental analysis), tetapi juga faktor lingkungan usaha (investment climate).

Skandal ini adalah contoh sempurna dari reputational risk yang berubah menjadi financial loss.

Biaya Utang yang Membengkak: Penerbitan obligasi korporasi maupun pemerintah (global bonds) ke depannya akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan cerdas dan skeptis dari investor.

Mereka akan meminta “konpensasi” atas risiko baru ini dalam bentuk yield yang lebih tinggi. Dalam bahasa yang sederhana: pinjaman kita menjadi lebih mahal.

Pelarian Modal (Capital Flight): Modal portofolio asing di pasar saham dan surat utang sangat mudah menguap (hot money)

Berita buruk tentang tata kelola adalah alarm untuk segera “jual”. Ibaratnya, jika sebuah gedung menunjukkan tanda-tanda kebakaran sistemik, para penghuninya akan berlarian keluar, tanpa peduli potensi sewa di masa depan.

Sebuah laporan dari McKinsey & Company (2020) tentang ketahanan korporasi menyatakan, “Resilience is less about predicting the specific risk and more about building trust that allows you to weather the unforeseen.”

Ketahanan bukanlah tentang memprediksi risiko spesifik, tetapi lebih pada membangun kepercayaan yang memungkinkan Anda bertahan dari hal yang tak terduga. Kepercayaan itu kini terkikis.

Penurunan Valuasi Perusahaan: Saham Pertamina dan anak perusahaannya, serta BUMN-BUMN strategis lainnya, berpotensi mengalami tekanan jual berkelanjutan.

Pasar akan melakukan diskon (discounted value) terhadap saham-saham tersebut karena dianggap mengandung “governance risk” yang tinggi.

Nilai kapitalisasi pasar yang menguap adalah kerugian finansial langsung bagi seluruh pemegang saham, termasuk negara.

Tata Kelola yang Bobrok: Kekacauan Manajemen Risiko Operasional

Di sinilah akar masalahnya: kegagalan manajemen risiko operasional dan kontrol internal.

Sebuah perusahaan dengan tata kelola keuangan yang baik harusnya memiliki sistem yang mencegah praktik semacam ini, karena mereka paham dampak finansial jangka panjangnya jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang curang.

Pertamina, yang seharusnya menjadi “blue-chip stock” andalan Indonesia, justru menjadi contoh textbook dalam manajemen krisis yang buruk.

Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah berkata, “Quality in a product or service is not what you put into it. It is what the client or customer gets out of it and is willing to pay for.”

Dalam dunia investasi, kualitas sebuah perusahaan bukanlah apa yang diklaim dalam laporan tahunannya, melainkan apa yang diyakini dan rela dibayar oleh pasar.

Kini, pasar dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa “produk” yang dijual tidak sesuai dengan spesifikasi. Ini adalah pelanggaran kontrak investasi paling fundamental.

Kesimpulan: Strategic Roadmap untuk Memulihkan Kepercayaan sebagai Aset Finansial

Pemerintah dan manajemen Pertamina harus segera bertindak bukan hanya sebagai pemadam kebakaran, tetapi sebagai “tim restrukturisasi” untuk sebuah aset yang rusak parah: kredibilitas.

Transparansi dan Akuntabilitas Finansial: Lakukan investigasi independen dan publikasikan hasilnya. Jelaskan kepada pasar langkah-langkah finansial dan operasional yang akan diambil untuk memastikan hal ini tidak terulang. Ini adalah bagian dari “investor relations” yang krusial.

Perkuat Internal Control dan Risk Management: Tinjau ulang seluruh sistem manajemen risiko, tidak hanya di Pertamina, tetapi di seluruh BUMN strategis. Ini adalah langkah untuk menurunkan “risk premium” di mata investor.

Repositioning di Pasar Global: Secara proaktif menjangkau investor global dan lembaga pemeringkat untuk meyakinkan bahwa insiden ini adalah sebuah katalis untuk perbaikan fundamental, bukan cerminan budaya perusahaan.

Seorang kepala suku Indian Amerika pernah berujar, “We do not inherit the earth from our ancestors; we borrow it from our children.”

Prinsip yang sama berlaku untuk kepercayaan investasi. Kita meminjam kepercayaan dari masa depan untuk membangun hari ini.

Tindakan ceroboh kita hari ini—ibarat mencampur BBM dengan etanol—adalah bentuk pengkhianatan terhadap pinjaman tersebut.

Membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, sementara menghancurkannya bisa terjadi dalam semalam dan hampir tanpa biaya.

Dalam neraca keuangan sebuah bangsa, kepercayaan adalah aset yang tidak bisa diukur secara nominal, tetapi nilainya menentukan harga dari segala sesuatu yang tercatat di dalamnya.

Saatnya kita berhenti menjadi manajer investasi yang hanya fokus pada laba kuartalan, dan mulai menjadi arsitek yang membangun fondasi kepercayaan yang kokoh, karena itulah portofolio yang paling berharga untuk generasi mendatang

* Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako