Eskalasi Mahasiswa Indonesia di Mesir

oleh -
Ilustrasi. (media.alkhairaat.id)

OLEH: Edi Lukito*

Total 1562 orang dinyatakan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas Al-Azhar, Mesir tahun 2024. Seleksi ini diadakan oleh Kementrian Agama RI berkolaborasi dengan lembaga Pusat Studi Bahasa Arab (Pusiba).

Pada tahun ini jumlah pendaftar mencapai 4.784 orang dari seluruh Indonesia. Jumlah pendaftar seleksi tersebut naik 25% dibandingkan tahun 2023 kemarin. Pun, pada tahun ini jumlah pendaftar yang lulus juga lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Namun, apakah peningkatan kuantitas mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Mesir patut menjadi kebanggan?

Tidak dapat dipungkiri, Mesir sejak dulu telah menjadi primadona di mata masyarakat Indonesia yang ingin belajar agama. Tiap tahun antusiasme masyarakat Indonesia untuk menimba ilmu di Mesir pun kian bertambah. Wajar, jika saat ini banyal muncul lembaga yang menjadi fasilatator bagi masyarakat Indonesia untuk bisa menimba ilmu di Mesir.

Lembaga negara yang berwenang dan secara resmi mengurusi hal ini pun ikut membuka keran seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin datang belajar di Mesir. Lagi pula institusi Al-Azhar, yang menjadi tempat tujuan belajar mayoritas mahasiswa, tidak membatasi jumlah mahasiswa yang diterima tiap tahunnya. Akhirnya, saat ini jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) membeludak.

Beberapa bulan yang lalu, tayang sebuah siniar di Youtube yang membahas pembeludakan Masisir dengan narasumber Nuruddin (Mahasiswa S3 Al-Azhar, Mesir). Narasumber menyoal pembeludakan jumlah mahasiswa yang tidak disertai dengan kualitas yang memadai, sehingga melahirkan ribuan persoalan di lingkungan Masisir.

Akar masalah ini, menurut narasumber, adalah semakin menjamurnya mediator pemberangkatan ke Mesir yang orientasinya telah bergeser dari pendidikan menjadi bisnis atau komersialisasi. Selain itu, kurang ketatnya seleksi dan rendahnya standar kelulusan dari lembaga resmi penerimaan mahasiswa ke Mesir, turut menjadi sebab dari masalah tersebut.

Para pemangku kebijakan dalam mengatasi masalah ini. Namun, masalah ini menimbulkan dilema karena Al-Azhar tidak memiliki aturan batasan jumlah maksimal mahasiswa yang diterima.

Berdasarkan pengalaman penulis saat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas Al-Azhar tahun 2021. Saat itu terjadi protes dari berbagai pihak yang tidak terima dengan hasil seleksi tersebut. Mereka menilai bahwa Kementrian Agama RI -selaku lembaga yang mengadakan seleksi- terlalu menghalang-halangi para pelajar Indonesia untuk belajar di Al-Azhar yang notabene Al-Azhar tidak melakukan itu.

Menurut mereka, tes yang diadakan Kementerian Agama tersebut terlalu sulit, sehingga yang berhasil diterima hanya ratusan pendaftar dari lima ribuan pendaftar saat itu. Karena protes meluas, pada saat itu juga Kemetrian Agama RI menurunkan nilai standar kelulusan, dari yang sebelumnya 65 menjadi 55. Akhirnya jumlah mahasiswa yang lulus tes bertambah menjadi 1549 mahasiswa.

Dilema juga dirasakan oleh KBRI Kairo, selaku perwakilan Pemerintah Indonesia di Mesir. Mereka tak bisa berbuat banyak dalam mengatasi pembeludakan mahasiswa, karena Al-Azhar secara institusi belum mempersoalkan hal itu.

Namun, bukan hal mustahil apabila suatu hari Al-Azhar membatasi kouta mahasiswa Indonesia yang belajar di sana, jika dampak negatif dari pembeludakan mahasiswa Indonesia di Al-Azhar mencapai titik nadir dan mencederai marwah institusi Al-Azhar.

Lantas, apakah kita hanya berdiam diri menunggu Al-Azhar membuat regulasi tersebut? Menunggu sampai dampak negatif itu betul-betul menodai nama suci Al-Azhar? Menunggu sampai Indonesia mendapatkan citra buruk dari Mesir? Tentu tidak.

Pengurangan kouta dan memperketat tes juga bukan satu-satunya pilihan untuk menanggulangi permasalahan ini. Menghentikan praktik komersalisasi pendidikan juga bukan hal mudah, karena kaitannya dengan kesadaran masing-masing individu.

Banyak hal yang sebenarnya dapat kita lakukan, seperti melakukan pemberdayaan mahasiswa ketika sampai di Mesir guna meningkatkan kualitas mahasiswa, dan meminimalisir dampak negatif dari pembludakan jumlah mahasiswa. Hal tersebut tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh mahasiswa senior di Mesir, perlu dukungan dari pemerintah Indonesia.

Berkaca dari negeri tetangga kita, Malaysia. Jumlah mahasiswa Malaysia di Al-Azhar hampir sama dengan jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar. Namun, persentase kelulusan tepat waktu mahasiswa Malaysia jauh lebih tinggi dibanding mahasiswa Indonesia.

Selain itu, mayoritas mahasiswa Malaysia di Mesir tinggal di dalam satu apartemen yang diawasi dan diperhatikan oleh pemerintah negaranya, tanpa adanya komersialisasi. Berbeda dengan mahasiswa Indonesia, yang tinggal bebas di seluruh sudut Mesir, tanpa pengawasan ketat dan kurang diperhatikan oleh negara asalnya.

Konon, sempat ada satu apartemen khusus untuk mahasiswa baru asal Indonesia, agar mereka mendapatkan bimbingan dan arahan, sebelum nantinya dilepas untuk belajar di Mesir. Setiap mahasiswa baru asal Indonesia, wajib tinggal di sana selama satu tahun. Namun, karena biaya yang terlalu mahal, banyak mahasiswa yang lebih memilih tinggal di luar, yang berujung pada penonaktifan apartemen tersebut.

Selain itu, beberapa mediator pemberangkatan juga menerapkan sistem asrama bagi orang-orang yang diberangkatkan, namun biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan fasilitas yang diperoleh.

Walakhir, kemunculan video siniar yang membahas problematika kehidupan Mahasiswa Indonesia di Mesir menjadi titik awal dalam menasionalisasikan problem yang selama ini terjadi di lingkungan Mahasiswa Indonesia di Mesir dan hanya mengendap lama di sana. Bahaya laten kehidupan bebas mahasiswa Indonesia di Al-Azhar, Kairo -seperti judul siniar itu- bukan hanya sekadar menjadi tontonan semata.

Penggunaan diksi ”bahaya” pada judul siniar itu, semoga membuka mata berbagai pihak untuk peduli dan memberi solusi konkret untuk masalah ini. Bukan berarti ketika masyarakat Indonesia memilih belajar di luar negeri, pemerintah Indonesia sudah lepas tanggung jawab atas pengawasan dan perhatian kepada mereka.

Selain itu, sudah maklum kalau meningkatkan kuantitas tanpa mengindahkan kualitas adalah suatu yang tidak patut dibanggakan.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo