‎JAKARTA – Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND) menyatakan, bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan konsekuensi dari praktik pembangunan yang diistilahkan “serakahnomics”.

Kata ini untuk menggambarkan sebuah model ekonomi rakus yang digerakkan oleh imperialisme, oligarki, dan birokrat korup.

Dampak bencana ini terbilang sangat besar. Data BNPB mencatat lebih dari 750 warga meninggal, 650 orang masih hilang, dan 3,3 juta penduduk terdampak.

Tim SAR juga mengevakuasi lebih dari 33 ribu warga, angka yang masih berpotensi meningkat seiring terbukanya akses ke daerah terisolasi.

Menurut Wakil Ketua Umum Dalam Negeri EN-LMND, Agung Trianto, serakahnomics bekerja melalui ekspansi industri ekstraktif tak terkendali yang mengutamakan keuntungan kelompok elite, dari korporasi besar hingga pejabat yang memfasilitasi perizinan, sambil mengabaikan keselamatan ekologis dan ruang hidup rakyat.

“Pembukaan lahan sawit, operasi tambang, dan berbagai eksploitasi lain di kawasan hulu sehingga merusak penyangga lingkungan, menghilangkan resapan air, serta memperparah sedimentasi sungai,” katanya, Rabu (03/12).

‎‎EN-LMND menekankan bahwa curah hujan ekstrem hanyalah pemicu teknis. Penyebab utamanya adalah kombinasi kekuatan imperialisme yang mendorong ekstraksi sumber daya, oligarki yang menguasai lahan dan investasi, serta birokrasi korup yang memberi izin tanpa pengawasan ketat.

“Banjir ini lahir dari kerakusan yang dilegalkan melalui praktik Serakahnomics yaitu imperialisme, oligarki, dan birokrat korup yang menghancurkan lingkungan. Selama model pembangunan ini dipertahankan, rakyat akan terus menjadi korban,” tegas Agung.

‎Ia mengecam negara yang dinilai terlalu lemah menghadapi kepentingan korporasi. Harusnya, kata dia,, negara tidak boleh terus menjadi penonton ketika ruang hidup rakyat dirampas oleh kaum Serakahnomics.

‎Pihaknya mendesak pemerintah mengambil langkah struktural jangka panjang, bukan hanya merespons darurat. Mereka menegaskan bahwa solidaritas kemanusiaan penting, tetapi akar masalah sistemik tidak boleh diabaikan.

‎Atas peristiwa ini, EN-LMND menyampaikan sejumlah tuntutan, yaitu moratorium total izin baru industri ekstraktif dan perkebunan sawit skala besar di kawasan hulu dan wilayah rawan bencana.

Selanjutnya, audit lingkungan menyeluruh dan penindakan tegas terhadap perusahaan pelanggar. ‎Restorasi ekologis segera pada DAS kritis dan pemulihan kawasan lindung. ‎Penataan ulang tata ruang berbasis kerentanan iklim.

‎Selain itu, percepatan reforma agraria untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan yang menjadi lahan basah oligarki. ‎Transparansi penuh atas izin, AMDAL, dan kepatuhan perusahaan. ‎Penegakan hukum tanpa kompromi terhadap korporasi perusak lingkungan.

‎Seruan bangun persatuan nasional lawan kaum Serakahnomics dan Menangkan Pancasila.

“Tanpa perubahan mendasar dalam arah kebijakan pembangunan, bencana serupa akan terus mengancam wilayah Sumatera dan daerah lain di Indonesia,” tutup Agung. ***