OLEH: Sahran Raden*
Pasca pemungutan suara pemilu 14 Februari 2024 dan setelah dirilisnya hasil quick count lembaga survey maupun real count penghitungan melalui Sirekap KPU, hasil sementara Prabowo Gibran meraih 58% suara dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Hasil sementara ini dapat dipastikan bahwa Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Gibran memenangkan kontestasi pemilu 2024.
Prabowo- Gibran mengungguli suara pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar – Mahfud.
Dinamika politik selanjutnya yakni munculnya usulan Hak Angket DPR terhadap penyelenggaraan pemilu yang dianggap banyak kecurangan.
Usul hak angket awalnya disampaikan oleh Calon Presiden Ganjar Pranowo dengan mendorong PDIP dan koalisi pilpres partai politik pendukung Amin dan Ganjar Mahfud karena beranggapan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan tidak berdasarkan prinsip Pemilu terutama prinsip jujur dan adil.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa hak angket ini sebagai kewenangan partai politik melalui anggota DPR bukan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya ada dua pertanyaan yang relevan dengan tulisan ini yakni pertama; apakah hak angket dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggaraan pemilu.
Kedua, apakah hak angket pemilu sebagai fungsi pengawasan DPR dapat membatalkan pemilu 2024.
Narasi hak angket yang bergelinding dalam wacana publik dianggap sebagai suatu mekanisme politik yang dapat membatalkan pemilu 2024. Maka itu penting mendudukkan eksistensi sebenarnya, apa fungsi hak angket DPR terhadap penyelenggaraan pemilu tahun 2024.
Eksistensi Hak Angket DPR
Sesuai konstitusi bahwa DPR sebagai lembaga negara yang tercermin dalam pilar kekuasaan legislatif, memiliki tiga fungsi yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Dalam menjalankan fungsinya, maka DPR memiliki tiga hak, yakni hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 20 A ayat (2) UUD 1945. Secara sederhana, hak angket digunakan oleh DPR untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis berdampak luas bagi masyarakat dan negara yang diduga bertentangan dengan undang-undang.
Hak tersebut juga digunakan untuk menyelidiki setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah.
Fungsi hak angket DPR salah satunya adalah menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak angket menjadi salah satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 73 berbunyi: Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan syarat Hak Angket DPR.
Ada syarat yang wajib dipenuhi DPR untuk mengajukan hak angket. Syarat pengajuan hak angket DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagai berikut ;
Hak angket wajib diusulkan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Pengusulan hak angket harus disertai dokumen yang memuat setidaknya materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang diselidiki dan alasan penyelidikan.
Usulan hak angket diterima jika mendapatkan persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
Keputusan hak angket diambil dari persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna tersebut.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, mungkin tidak penting membicarakan teknis hak angket, namun yang substansi adalah apakah hak angket dapat mempengaruhi hasil pemilu 2024 atau setidak tidaknya hak angket secara politik dapat memutuskan terhadap pembatalan pemilu.
Peta kekuatan politik di DPR pasca pemilu sebenarnya sangat kompetitif koalisi Prabowo Gibran yang didukung oleh Golkar, Gerindara, PAN dan Demokrat memiliki suara dengan Koalisi AMIN dan Ganjar Mahfud yang didukung oleh PDIP, PPP, PKB, Nasdem dan PKS.
Sama-sama memiliki kekuatan berimbang, meski demikian memiliki fragmentasi politik yang dinamis. Jika digabungkan, koalisi pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menguasai 314 kursi.
Porsinya sekitar 55% dari total kursi DPR periode 2019-2024 yang berjumlah 575 kursi.
Di sisi lain, koalisi pengusung Prabowo-Gibran menguasai 261 kursi, atau sekitar 45% dari total kursi DPR saat ini
Namun paling tidak bahwa Hak Angket jika digunakan DPR, ini sebagai alat kontrol dalam mengawasi pemerintahan.
Hak angket sebagai kekuatan penyeimbang antara kekuasaan legislative di DPR dan kekuasaan eksekutif Presiden dalam penyelenggaraan negara.
Dalam konteks pengawasan pemerintahan hak angket baik untuk dilaksanakan, namun dalam konteks pemilu hak angket dapat mengancam keadaban nilai demokrasi, di mana pemilu sebagai instrument kedaulatan rakyat.
Bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan dalam demokrasi Indonesia, jangan sampai Hak angket menjadi sarana penyanderaan kedaulatan rakyat.
Sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan, bahwa hak angket sebagai sarana politik dalam melakukan penyelidikan terhadap adanya pelanggaran Undang Undang.
Dalam konteks demikian, maka seharusnya penyelidikan yang dilakukan dalam hak angket mengenai kecurangan pemilu itu adalah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Apakah presiden atau pejabat negara lainnya diduga melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan UU Pemilu.
Setidaknya pelanggaran pemilu itu terjadi pada masa sebelum pemungutan suara, saat pemungutan suara dan sesudah pemungutan suara.
Dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penyelenggara Pemilu itu adalah KPU, Bawaslu dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu.
Maka seharusnya yang dilakukan penyelidikan dalam hak angket itu adalah penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu dan DKPP adalah lembaga negara bantu yang khusus melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilu Dalam konteks demikian, maka bisa saja hak angket dijadikan sebagai alat politik dalam melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran pemilu tahun 2024.
Hak Angket dan Pembatalan Pemilu,
Mungkinkah atau Ilusi saja?
Usulan Hak Angket DPR untuk mempertanyakan adanya dugaan kecurangan pemilu 2024, paling tidak dilatar belakangi adanya penegakan hukum pemilu yang tidak efektif.
Selain secara substansi, Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat menjangkau terhadap adanya dugaan pelanggaran pemilu.
Pada aspek struktur hukum para penegak hukum pemilu tidak optimal dan efektif dalam melakukan penegakan pelanggaran pemilu.
Maka itu, dugaan adanya pelanggaran pemilu dan kecurangan pemilu dilakukan melalui jalur politik dengan hak angket DPR sebagai instrument penegakannya.
Penyelesaian pelanggaran pemilu dalam konteks hukum pemilu di Indonesia telah diatur melalui kamar kamar sengketa hukum pemilu.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa kualifikasi terhadap pelanggaran pemilu yang sifatnya administrasi dan sengketa proses pemilu diselesaikan melalui kamar Bawaslu.
Pelanggaran yang sifatnya kode etik dilaporkan kepada DKPP. Pelanggaran yang sifatnya pidana diberi kewenangan kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
Pelanggaran yang sifatnya administrasi tata negara pemilu dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara, penyelesaian sengketa hasil pemilu dilaksanakan melalui Mahkamah Konstitusi.
Terhadap pelanggaran yang dilakukan sebelum pemungutan suara dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana.
Pelanggaran ini diselesaikan oleh Bawaslu dan pihak kepolisian.
Problem besar dalam kasat mata politik, bahwa Tim Paslon Amin dan Ganjar Mahfud, menarasikan adanya kecurangan pemilu yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk misalnya penyaluran bantuan sosial, penggunaan birokrasi dan ASN dalam kepentingan pemenangan paslon Prabowo Gibran, serta cawe cawe Presiden Jokowi dalam pelaksanaan pencalonan dan Kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pasangan Prabowo Gibran.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan pada Paslon 02 ini, dianggap bersifat Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
Namun demikian dalam kontestasi pemilu tidak ada jaminan bahwa pasangan 01 Anies-Muhaimin dan pasangan 03 Ganjar-Mahfud juga menggunakan kekuatan ASN dan birokrasi atau kekuatan lainnya seperti bantuan sosial.
Maka itu, terhadap setiap dugaan adanya pelanggaran pemilu harus diselesaikan melalui kamar kamar penyelesaian sengketa hukum pemilu.
Dalam konteks hari pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara, sebenarnya kecil kemungkinan dan bahkan hampir tidak ada hal terjadinya kecurangan pemilu.
Apalagi berkaitan dengan penggelembungan suara calon. Sebab TPS dan di forum pleno rekapitulasi penghitungan suara banyak aktor pemilu yang terlibat dalam proses tersebut.
Ada penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu, ada partai politik, ada para saksi, sejumlah pemantau dan masyarakat sipil yang melakukan pengawasan terhadap proses pemilu.
Partai politik melalui saksi dan bawaslu secara berjenjang dapat melakukan keberatan terhadap suatu proses pemilu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Maka itu, secara hukum sulit ditemukan bukti adanya kecurangan pemilu pada saat pemungutan suara maupun sesudah pemungutan suara.
Terhadap bantuan sosial dan penggunaan birokrasi atau ASN dalam kampanye, apakah mempengaruhi pilihan pemilih, maka itu perlu dibuktikan apakah bansos dan penggunaan birokrasi mempengaruhi pilihan suara pemilih.
Selanjutnya sulit dihitung secara statistik berapa persentasi pengaruhnya kepada pemilih, berapa luas presentase seluruh daerah pemilihan juga terutama apakah dapat dibuktikan secara struktur masuk dalam tim kampanye calon.
Maka jika tidak dapat dibuktikan, hal ini tidak dapat membatalkan pemilu apalagi dengan hak angket yang tidak diatur dalam undang-undang bahwa hak angket dapat membatalkan pemilu.
Penyelesaian sengketa hasil pemilu hanya dapat diselesaikan melalui kamar Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon di MK dapat membuktikan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis dan massif.
Apakah sengketa hasil pemilu, pemohon di MK dapat membuktikan adanya selisih suara yang diakibatkan oleh pelanggaran pemilu yang bersifat TSM tadi atau penggelembungan suara pemilu presiden dan wakil presiden.
Apabila tidak dapat dibuktikan maka, semuanya hanya ilusi belaka. Hak angket hanya membelenggu demokrasi dan kedaulatan pemilih.
Padahal setiap calon telah mendeklarasikan siap menang dan siap kalah sebelum mengikuti kontestasi pemilu.
*Penulis adalah Pengajar Hukum Tata negara di Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu