OLEH: Ruslan Sangadji*
Senin, 4 Agustus 2025, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Tengah resmi dilantik. Beberapa kali saya menulis dan mengomentari tentang KPID. Namun kali ini, tulisan ini hadir sebagai cermin, sebagai renungan bagi dunia penyiaran kita yang tak lagi seperti tempo doeloe.
Dunia penyiaran telah berubah, dan berubah dengan sangat cepat. Dulu, ketika suara penyiar radio terdengar dari sudut rumah atau warung kopi, orang-orang berhenti sejenak: menyimak berita, larut dalam lagu, atau sekadar menikmati pembacaan puisi malam.
Dulu, radio adalah kawan sunyi. Televisi adalah panggung keluarga. Berita jam tujuh malam menjadi semacam ritual bersama keluarga, mengikat perhatian dan rasa ingin tahu masyarakat.
Tapi kini, segalanya berubah. Dunia penyiaran seolah berlari mengejar bayangannya sendiri di tengah pusaran revolusi digital. Teknologi melesat, sering kali lebih cepat dari kesiapan manusianya.
Media sosial, platform streaming, kanal digital, semuanya menjelma menjadi ekosistem informasi yang tak lagi linier. Penonton bukan lagi objek pasif. Mereka kini adalah sutradara atas apa yang ingin mereka lihat, dengar, dan percayai.
Dalam hitungan menit, jutaan konten lahir. Suara penyiar harus bersaing dengan gemuruh notifikasi, video viral, bahkan suara-suara AI yang semakin lihai meniru manusia. Penyiar tak lagi sendirian di udara; mereka kini berhadapan dengan algoritma, rating, dan tuntutan viralitas.
Yang lebih menantang, bukan sekadar kecepatan atau teknologi, melainkan bagaimana menjaga makna dan kepercayaan. Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, perhatian menjadi komoditas langka.
Yang tak menarik, yang tak cepat, yang tak sensasional, cepat dilupakan. Maka, banyak lembaga penyiaran tergoda: memilih jalan pintas, mengejar rating, mengorbankan idealisme. Informasi berubah menjadi konsumsi cepat saji, bukan lagi santapan yang menumbuhkan kesadaran.
Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan mendasar: masihkah dunia penyiaran relevan? Masihkah suara yang menyapa dari balik mikrofon dan wajah yang muncul dari balik layar mampu memberi pengaruh yang mendalam?
Saya menjawabnya sendiri: masih. Tapi syaratnya, kita mau berubah atau tidak. Bukan sekadar beralih ke platform digital, tapi juga menjaga kualitas isi dan integritas suara.
Dunia penyiaran harus menjadi jangkar di tengah derasnya arus, bukan sekadar ikut mengalir, tapi menuntun arah. Ia harus menjadi rumah yang menjaga etika, bukan panggung sensasi.
Tugas itu kini berada di tangan banyak pihak, termasuk KPID Sulteng yang baru saja dilantik. Mereka bukan sekadar regulator, tetapi juga penjaga marwah penyiaran di daerah. Di tangan mereka, harapan untuk dunia penyiaran yang sehat, mendidik, dan manusiawi bisa kembali tumbuh.
Dunia ini memang berubah. Tapi suara yang tulus, informasi yang jernih, dan niat yang baik akan selalu menemukan jalannya.
Penyiaran tak boleh kehilangan jiwanya. Karena saat dunia semakin bising, masyarakat justru semakin merindukan suara yang dapat dipercaya.
Mungkin gelombang telah berubah, layar pun berganti, tapi panggilan penyiaran tetaplah sama: menyapa, menyampaikan, dan menjaga.
*Penulis adalah Pengurus DPP Generasi Digital Indonesia (Gradasi) Korwil Sulawesi