PALU – Akhir Tahun 2024, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng) telah merilis hasil investigasi terkait aktivitas kejahatan di sektor pertambangan yang berlangsung di atas lahan Kontrak Karya PT Citra Palu Minerals (CPM), Kelurahan Poboya, Kota Palu.
Dugaan pertambangan illegal (PETI) itu diduga dilakukan oleh PT Adijaya Karya Makmur (AKM), yang tak lain merupakan kontraktor PT CPM sendiri.
Hasil investigasi JATAM, kegiatan illegal berupa perendaman material emas itu telah berlangsung sejak Tahun 2018 dan diduga telah merugikan negara mencapai Rp3 triliun.
Namun sejauh ini, aktivitas tersebut tetap berlangsung dan dinilai tidak ada tanda-tanda penindakan oleh aparat penegak hukum (APH).
Koordinator JATAMERS, Hardiansyah, kepada media ini, Sabtu (25/01) mengatakan, JATAM telah mengambil langkah dengan mengirimkan surat somasi kepada Kapolri pada awal 2025 lalu, sekaligus mengadukan kasus ini kepada Presiden RI, Prabowo Subianto.
“Kami mengirimkan somasi kepada Kapolri atas tindakan Polda Sulteng yang terkesan membiarkan kejahatan perendaman terus berlangsung hingga saat ini. Padahal jarak antara kantor Polda Sulteng dengan aktivitas perendaman itu hanya berkisar 7 kilometer,” ujarnya.
Selain Kapolri, kata dia, JATAM juga telah mengirimkan surat pengaduan kepada Presiden Prabowo serta beberapa institusi negara atas kasus tersebut.
Ia menegaskan bahwa pihaknya memberikan waktu selama 3 bulan ke depan, apabila tidak ada tindakan penyegalan aktivitas perendaman oleh AKM, maka pihaknya akan melakukan gugatan kepada Kapolri atas tindakan Polda yang dinilai tidak adil dalam merespon tindak pidana yang merugikan negara triliunan rupiah.
Lebih lanjut ia mengatakan, terkait aktivitas illegal di atas lahan kontrak karya PT CPM, sebagaimana Pasal 125 Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, ditegaskan bahwa penanggungjawab aktivitas produksi oleh perusahaan jasa pertambangan adalah pemilik izin usaha dalam hal ini, PT CPM.
“Oleh karena itu, kami mendesak Polda Sulteng untuk memeriksa pihak CPM untuk menjelaskan peristiwa kejahatan perendaman yang dilakukan oleh PT AKM,” ujarnya.
CPM, kata dia, harus menjelaskan kenapa ada aktivitas produksi yang tidak sesuai mekanisme yang disepakati dengan pemerintah. Justru, lanjut dia, PT AKM yang berproduksi dengan menggunakan cara-cara culas berupa perendaman yang tidak sesuai izin, merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat soal penggunaan bahan.
“Kenapa CPM tidak mengusir dan atau melakukan teguran kepada AKM karena melakukan aktivitas produksi tidak sesuai izin. Jika ada kontrak kerja antara CPM dan AKM, kenapa tidak dibatalkan oleh PT CPM,” lanjutnya.
Hardiansyah juga menyinggung pendapatan pajak yang diperoleh Negara dari aktivitas pertambangan.
Ia mengatakan, jika merujuk Pasal 128 ayat 2 UU Nomor 3 Tahun 2020, kata dia, terdapat dua jenis pajak yang wajib disetorkan oleh perusahaan tambang kepada negara, yaitu berupa penerimaan negara yang wajib dibayarkan oleh perusahaan sebesar 10% dari jumlah produksi.
Dari 10 persen tersebut, jelas dia, yang masuk dalam pendapat pemerintah pusat sebesar 4 persen dan pemerintah daerah sebesar 6 persen.
“Nah, dalam hal ini, berdasarkan penelusuran kami pada Kementerian Keuangan melalui Dirjen Pajak, PT AKM tidak ditemukan sebagai perusahaan yang membayar pajak penerimaan negara dari hasil produksi perendaman,” ungkapnya.
Selain itu, kata dia, adapula Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari iuran tetap, iuran produksi, kompensasi data informasi, dan penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Juga dari hasil penelusuran yang dilakukan melalui Dirjen Pajak, tidak ada pembayaran PNBP yang dilakukan oleh PT AKM,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, besarnya keuntungan yang didapat oleh PT AKM sebagaimana informasi yang didapatkan melalui Kementerian ESDM yaitu Rp60 miliar per bulan atau mencapai Rp720 miliar setiap tahunnya.
“Dan ternyata dari Rp720 miliar tersebut, negara tidak menerima pajak sama sekali,” ujarnya.
Menurut Hardiansyah, negara tidak mendapat penerimaan sama sekali karena PT AKM hanyalah perusahaan kontraktor penambangan di wilayah Kontrak Karya PT CPM.
Terkait hal ini, sebelumnya pihak Polda Sulteng sendiri memastikan telah melakukan langkah-langkah penyelidikan dugaan pertambangan ilegal (PETI) di Kelurahan Poboya.
Pihak Polda bahkan menyampaikan bahwa penyelidikan telah berlangsung beberapa hari terakhir dengan memanggil sejumlah pihak terkait.
Namun, saat ditanyakan, Sabtu (25/01) malam, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sulteng, Kombes Pol. Bagus Setiyawan, belum memberikan jawaban yang pasti mengenai kelanjutan penanganan kasus tersebut.
Begitupun ketika ditanya mengenai somasi yang dilayangkan JATAM kepada Kapolri, Bagus juga tidak memberikan tanggapan.
“Nanti bang ya, kalau sudah selesai penyelidikannya kami sampaikan,” jawabnya singkat, sembari mengarahkan ke Humas Polda Sulteng.
Awak media ini kemudian menghubungi Kasubid Penmas Polda Sulteng, AKBP Sugeng Lestari. Ia mengatakan, Kapolda Sulteng sudah menegaskan bahwa kegiatan yang berbau ilegal harus ditertibkan termasuk ilegal minning.
“Tindak lanjutnya tentunya diserahkan satker yang berkompeten dan satwil setempat. Kami belum dapat update apabila terkait PT AKM sudah ada tindaklanjut yang sudah dilakukan oleh Ditreskrimsus,” jawabnya.
Di bagian lain, pihak PT CPM, dalam hal ini Acting General Manager External Affairs and Security, Amran Amier, yang dihubungi, juga belum memberikan tanggapan.
Hingga pukul 21.44 Wita, pesan WA yang dikirim tidak dibalas. Saat ditelpon juga tidak diangkat.
Namun informasi yang didapat media ini, pihak CPM sendiri sudah diperiksa oleh Polda Sulteng dan telah memberikan keterangan secara resmi ke Kementerian ESDM mengenai aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT AKM di atas lahan kontrak karyanya. IKRAM/RIFAY