PALU – Sekelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu Komisariat Hukum Universitas Tadulako (Untad), mendatangi Gedung DPRD Provinsi Sulteng, Kamis (15/06).
Mahasiswa diterima oleh Wakil Ketua I DPRD Provinsi Sulteng, HM Arus Abdul Karim dan Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah, di Ruang Baruga DPRD.
Mereka hadir menyampaikan tuntutan kepada DPRD Sulteng atas sejumlah dugaan penyimpangan yang terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, di bawah pimpinan Panji Gumilang.
Ada beberapa poin tuntutan yang tertuang dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Umum Pengurus HMI Cabang Palu Komisariat Hukum Untad, Taufiq Hidayat dan Sekretaris Umum, Syamsurisal.
Beberapa poin tersebut yakni tolak penistaan agama yang ada di Ponpes Al-Zaytun, mendesak Kementerian Agama (Kemenag) agar membubarkan ponpes tersebut, mendesak DPRD Sulteng agar menyatakan sikap bahwa Panji Gumilang dipindanakan sesuai dengan KUHPidana pada Pasal 156 A.
Di poin terakhir, mendesak DPRD Sulteng mengeluarkan pernyataan sikap mengecam tindakan Panji Gumilang selaku pimpinan Ponpes Al-Zaytun dan segara mendesak pemerintah pusat untuk membubarkan ponpes tersebut.
Dalam catatan HMI Cabang Palu Komisariat Hukum Untad, pimpinan Ponpes Al-Zaytun di depan santri dan tamu undangan, memperkenalkan salam Yahudi. HMI mengecam keras perilaku tersebut.
Mereka menyatakan, Panji Gumilang menganut hirarki NII (Negara Islam Indonesia). Bahkan kasus pencabulan yang dilakukannya tahun 2018 silam juga belum terungkap sampai saat ini karena kepintarannya merombak TKP dan merombak alat bukti yang ada.
“Ponpes ini mengaku bahwa menganut kurikulum Kemenag. Nyatanya cara beradzan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran Kemeneg. Cara mereka melakukan Shalat Ied yang di posting pada laman Instagram @kepanitiaanalzaytun, tertera jelas bahwa mereka saat melaksanakan Shalat Idul Fitri, perempuan mengisi shaf yang sama dengan laki-laki. Di sini terlihat jelas bahwa ajaran yang dianut pondok pesantren ini sangat melenceng dari ajaran agama Islam,” kata Taufiq Hidayat dalam uraian tuntutannya.
Menurutnya, sudah sulit meluruskan ajaran agama di Ponpes Al-Zaytun karena ternyata orang tua santri juga menganut hirarki yang sama seperti Panji Gumilang, yaitu NII.
“Di mana NII ini menerapkan system harus taat pada pimpinan karena bagi mereka pimpinan adalah wakil Allah. Bahkan jihad yang mereka lakukan dengan cara meminta bantuan donasi mengatasnamakan yatim piatu,” sambungnya.
Bahkan, kata dia, dana BOS yang mengalir untuk ponpes, terkirim di rekening Panji Gumilang sendiri.
“Jadi hal yang pantas dilakukan adalah bubarkan Ponpes Al-Zaytun ini. Di dalam ponpes juga mewajibkan membayar shodaqoh hijrah dengan nilai yang telah ditentukan dengan alasan sebagai pembersihan jiwa,” ujarnya.
Atas sejumlah dugaan penyimpangan tersebut, hari ini di Indramayu, massa aksi sekira 5000 orang berkumpul mengepung ponpes, menyuarakan sejumlah tuntutan untuk para petinggi dan yayasan.
Wakil Ketua I DPRD Provinsi Sulteng, HM Arus Abdul Karim memberikan apresiasi dan mendukung langkah yang dilakukan para mahasiswa.
“Kami mendukung langkah yang dilakukan terkait kasus di Pondok Pesantren Al-Zaytun yang dipimpin oleh Panji Gumilang yang sampai hari ini belum juga ditangani secara serius oleh yang berkompeten,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah. Ia juga meminta Kemenag segera bertindak.
“Kemenag harus secara cepat menindaklanjuti ini, karena ini sesungguhnya bukan baru terjadi dalam waktu satu atau dua tahun, tapi sudah dari 5 tahun yang lalu,” ujar Wiwik.
Ketua Fraksi PKS DPRD Sulteng itu menambahkan, secara tertulis, mungkin kurikulum yang digunakan Ponpes Al-Zaytun memang benar. Tapi apakah dilaksanakan sesuai dengan apa yang tertulis, perlu pembuktian.
“Saya sepakat jika ini harus dibawah ke ranah hukum dan yang bisa membuktikan bahwa ponpes ini menyimpang atau tidak adalah kemenag,” katanya.
Menurutnya, saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pondok Pesantren. Di dalamnya disebutkan 3 tujuan ponpes didirikan, salah satunya adalah mengajarkan islam moderat, rahmatan lil alamin.
“Inilah yang harus dibuktikan oleh kemenag. Keputusan membubarkan atau tidak itu ada di Kemenag. Jika melanggar undang-undang berarti dia melanggar hukum. Jika melanggar hukum, maka wajib dan harus dibubarkan, ditiadakan,” tegas Wiwik.
Ia juga menyarankan mahasiswa untuk berkoordinasi dengan komisi IV DPRD Sulteng yang bermitra langsung dengan Kemenag Sulteng. RIFAY