PALU – Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Sulteng mencatat sedikitnya 26 perusahaan, baik milik daerah maupun swasta yang menjadi sasaran penarikan Pajak Air Permukaan (PAP) di wilayah Sulteng, tahun 2016 sampai 2018 mendatang.

26 perusahaan tersebut diantaranya PDAM Donggala yang beroperasi di Donggala, Palu, Sigi, dan Parigi. Kemudian Perusda Parimo, PDAM Poso dan Poso Energi.

Selanjutnya empat perusahaan di Morowali/Morut, salah satunya PT Agro Nusa Abadi. Sementara di Kabupaten Banggai terdapat tujuh perusahaan, satu diantaranya adalah perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati. Kemudian di Kabupaten Touna diantaranya PDAM dan PT Sansarino.

Itupun, sebagian besar perusahaan yang ditarget membayar pajak air permukaan itu, rata-rata tidak merealisasikan sebagaimana target yang telah ditetapkan.

Hal ini terungkap dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sulteng bersama TAPD, di ruang sidang utama DPRD, Selasa (29/08), membahas APBD tahun 2018

Dari sekian banyak perusahaan tersebut, ada tiga yang luput dari catatan TAPD, yakni pengelola kawasan pertambangan nikel di Kabupaten Morowali yakni PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG) yang beroperasi mengelola gas alam cair di Kabupaten Banggai dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palu.

Selama dua tahun belakangan ini, tiga perusahaan tersebut tidak pernah dikenakan atau tidak menyetor pajak air permukaan.

“Bagaimana mungkin perusahaan sebesar itu tidak membayar pajak air permukaan, padahal mereka juga kan menggunakan air permukaan itu,” ketus Anggota Banggar, Muhammad Masykur.

Anehnya, kata dia, TAPD juga tidak memasukkan PDAM Palu, melainkan hanya  PDAM Uwelino Donggala.

“Alasannya, mereka tidak tahu kalau ada PDAM Palu, bagaimana ini,” tambahnya.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama (Dirut) PDAM Palu, Kurniawansyah, mengaku bahwa pihaknya memang tidak pernah menyetor pajak tersebut. Alasanya karena belum ada titik temu tentang berapa besaran biaya pajak yang disetor dan bagaimana cara menghitungnya.

“Apakah sesuai kubikasi atau seperti apa, ini yang masih ngambang,” jelasnya.

Juru bicara PT IMIP, Dedi Kurniawan yang dihubungi dari Palu, juga mengakui bahwa pihaknya belum membayarkan pajak tersebut selama tahun 2016 hingga pertengahan tahun 2017. Alasannya, pihak perusahaan masih dalam proses perhitungan dan pengumpulan data.

“Karena debit air permukaan yang digunakan selalu berubah-ubah. Paling lambat satu bulan, kami akan membayar pajak air permukaan itu,” kata Dedi.

Berbeda dengan itu, juru bicara PT DSLNG, Rahmat Aziz, mengatakan, pihaknya tidak membayar pajak air permukaan, tetapi dikenai pajak air tanah, sebagaimana yang  diatur dalam  Perda di daerah setempat.

“Pada masa awal-awal konstruksi, Pemda meminta perusahaan membayar pajak air tanah. Tetapi saat kami hendak membayar, belum ada regulasi yang dibuat. Jika kami bayar, maka akan melanggar aturan internal perusahaan,” ungkapnya.

Namun beberapa waktu kemudian, lanjut Rahmat, Pemda akhirnya mengesahkan aturan pajak air tanah tersebut. Namun, kata dia, aturan itu berlaku surut dan mewajibkan perusahaan membayar pajak, sebelum Perda tersebut lahir.

“Jadi hingga saat ini, kami masih menggunakan air tanah dan membayar pajaknya setiap tahun,” tutup Rahmat. (RIFAY/FAUZI/HAMID)