DPT Tak Kunjung Beres

oleh -
Kasman Jaya Saad

*OLEH KASMAN JAYA SAAD

Menarik mencermati headline media ini (Mal, 17/8/18) bertajuk “Bawaslu Yakin, Masih Banyak Data Perlu Diperbaiki” KPU Sulteng tetapkan DPTHP 1.886.810 jiwa pemilih. Artinya DPT tak kunjung beres. Bawaslu mengklaim, masih banyak data pemilih yang belum diakomodir KPU Propinsi.

Dari pencermatan data ganda Bawaslu Propinsi menemukan ada 32 ribu pemilih ganda, namun yang di akomodir atau dihapus oleh KPU dalam DPTHP hanya 17.483 pemilih. Demikian halnya data penduduk yang belum memenuhi syarat, maupun yang sudah meninggal, diabaikan oleh KPU.  Bawaslu mencontohkan 50 penduduk di Toli-Toli yang sudah meninggal namun masih terdaftar di DPTHP, dan di kota Palu di laporkan ada 3000 an rekomendasi Bawaslu yang tidak terekam dalam Sidalih.

Dan artinya kedua lembaga penting ini belum menemukan titik temu membersihkan data Pemilih ?. DPTHP pun akhinya berjilid, karena masih dibuka peluang untuk melakukan pencermatan dan perbaikan hingga 60 hari ke depannya.

Pertanyaannya adalah, kenapa persoalan data pemilih ini tak kunjung beres. Dan selalu berulang dari pemilu ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada. Wajar kalau kemudian Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menduga ada unsur kesengajaan dalam munculnya sejumlah masalah pada saat penetapan DPT untuk Pemilu 2019. Menurut dia, hal biasa apabila permasalahan DPT terjadi hanya satu kali, tetapi kalau salah setiap Pemilu setiap Pilkada ini bukan hal lumrah, ada kesengajaan, by design. Benarkah?.

BACA JUGA :  Aspek Hukum, Polemik Larangan Kampanye atau Tindakan Pemerintah pada Norma Pasal 71 UU Nomor 10

Untuk menjawabnya mari kita coba menyimak beberapa sumber masalah ‘mungkin’ menjadi pemicu kisruh DPT. Pertama, DPT adalah dokumen hukum yang berisikan daftar nama-nama pemilih yang dapat menggunakan hak pilih pada pelaksanaan  pemilu.

DPT sebagai instrument hukum harusnya disusun secara terencana dan melalui prosedur sebagai mana diatur dalam perundang-undangan dimana secara eksplisit disebutkan bahwa penyusunan daftar pemilih didasarkan pada data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk Data Penduduk Pemilih Pemilu Potesial (DP4), yang selanjutnya akan dilakukan pemutahiran data  oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Sebagai sebuah commission, KPU sudah selayaknya melakukan upaya penelusuran terhadap akurasi data  (assesment) yang diserahkan oleh pemerintah, bukan hanya  sebagai agent pemutahiran.  Sebab ketika baseline data tidak benar, maka akibatnya pemutahiran data yang akan dilakukan akan  menjadi tidak benar.

Penilaian yang dimaksudkan adalah, apakah data tersebut sudah sesuai dalam arti valid, margin errornya rendah dan mudah untuk dimutahirkan.

BACA JUGA :  Etika dan Perilaku Politik dalam Menghadapi Pilkada

Hal ini tentu menjadi penting, karena Mendagri bersikukuh bahwa DP4 yang dierahkan ke KPU sudah valid. Dan dari sinilah sumber data seringkali digugat dan sekaligus menjadi sumber masalah dari karut marutnya daftar pemilih, karena sesungguhnya sejak awal KPU sudah harus melakukan assesment data yang diberikan, bukan langsung dimutahirkan begitu saja. Dan tak guna lagi melakukan pembelahan setelah DPT dipersoalkan seperti sekarang ini.

Kedua, selanjutnya proses pemutahiran data pemilih yang dilakukan bertahap dan berjenjang, yang dimulai dari tahapan di tingkat Pantarlih, PPS, PPK, sampai ke KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan. Kualitas DPT  sangat ditentukan oleh kerja-kerja profesional Pantarlih dan PPS dalam melakukan proses coklit di lapangan.

Lantas apakah semua personil penyelenggara pemilu ini bekerja maksimal,  disinilah letak masalahnya. Pantarlih kurang mendapat pembengkalan. Pendataan pemilih dilakukan sekenanya (sebatas pemahamannya).  Sebagai contoh, Pantarlih sering tidak meminta KTP el. atau KK saat melakukan pemutakhiran, hanya menanyakan berapa penghuni rumah yang memenuhi syarat memilih.  Maka tidak heran muncul nama dan identitas lain yang tidak sesuai dengan KPT, bahkan ditemukan nama kecil (panggilan) dalam DPT. Demikian ini, boleh jadi pemicu terjadinya data ganda, karena terjadi kesalahan cakupan (errors of coverage) penyebab pendataan dua kali, karena Pantarlih kesulitan melakukan monitor penduduk yang masih terdaftar satu keluarga, namun sudah memiliki tempat tinggal di luar wilayah tersebut.

BACA JUGA :  Putusan Self-Executing MK dan Demokrasi Konstitusional

Ketiga, kenyataan ini makin diperparah dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, yang secara sosiologis memiliki karakter yang pasif dalam soal data kependudukan, sementara ketentuan menghendaki aktif dalam melindungi hak-hak konstitusinya, hal ini tentu tidak sesuai dengan karakter keterbimbingan masyarakat kita.

Memang tidaklah mudah membenahi persoalan DPT, sepanjang Administrasi Kependudukan Nasional belum juga clear. Karena sesungguhnya KPU sebagai penyelenggara hanyalah pengguna dari data yang disediakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.  Karena sejatinya dengan KTP el. persoalan kisruh DPT tidak perlu terjadi. Dengan KTP el. yang benar (valid), maka setiap penduduk sudah memiliki single indetity number (one person one number) dalam skala nasional,  jadi mustahil ditemukan data ganda, apalagi data fiktif (Tanpa indentitas).

Ke depan peran KPU memang perlu dikurangi dalam proses pemutakhiran data pemilih, bila kita menginginkan DPT bersih dan berkualitas, dan menghindari tuduhan DPT by design, sengaja dibuat kisruh.  Badan Pusat Statistik (BPS), layak diberi tugas mengelola data kependudukan menjadi pemilih. Bukankah institusi ini lebih ahli. Ujung semua itu, diperlukan Politicall Will dari pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap data kependudukan di negeri ini.

*Penulis adalah Pegiat Pemilu dan Dosen Unisa Palu