PALU – Komisi C DPRD Kota Palu mempertanyakan keberadaan surat hibah lahan seluas 25 hektar di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kawatuna Palu, yang tercacat sebagai aset Pemerintah Kota (Pemkot) Palu.
Hal itu dipertanyakan sejumlah anggota Komisi C saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait pembebasan lahan warga TPA Kawatuna yang digelar di ruang sidang utama DPRD Kota Palu, Jumat (7/7).
Ketua Komisi C DPRD Kota Palu, Ahmad Umayer menjelaskan, pada hearing kedua tersebut sengaja mengundang langsung mantan Wali Kota Palu, Hidayat, yang pada tahun 2005 menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kota Palu.
Menurut keterangan Hidayat, saat dirinya menjabat, lahan seluas 25 hektar di TPA Kawatuna sudah menjadi hak milik Pemkot Palu. Bahkan, saat itu dirinya melihat langsung surat hibah tersebut.
“Setelah kita cari tahu, ternyata 25 hektar lahan di TPA Kawatuna itu tercatat sebagai aset daerah. Itu berdasarkan keterangan pak Hidayat,” jelasnya.
Politisi Golkar ini mengkhawatirkan, jangan sampai Pemkot Palu membayar ganti rugi lahab di atas lahan yang ternyata sudah dihibahkan dan menjadi aset Pemkot Palu.
Anggota DPRD Komisi C, Muslimun juga menjelaskan, berdasarkan hasil hearing tersebut, selain 25 hektar yang sudah menjadi hibah, ada 5 hektar dan 2,5 hektar lainnya juga yang telah menjadi aset Pemkot Palu dan sudah memiliki sertifikat.
“Jadi ada sekitar 29 hektar lahan di TPA Kawatuna itu menjadi lahan Pemkot Palu dan itu tercatat di registrasi aset atau aset KIP Kuliah,” jelasnya.
Namun, walaupun tercatat sebagai aset daerah, keberadaaan surat hibah lahan 25 hektar tersebut masih dipertanyakan. Untuk itu, komisi C mendorong melakukan hearing lanjutan untuk memperjelas status dan mencari keberadaan surat hibah lahan 25 hektar di TPA Kawatuna tersebut.
Ketua Fraksi Nasdem ini menjelaskan, pada hearing ke tiga mendatang, pihaknya akan mengundang langsung Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu maupun BPN Provinsi Sulteng, Dinas Tata Ruang Kota Palu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Camat dan Lurah Kawatuna untuk memperjelas keberadaan surat hibah tersebut.
“Kalau misalnya surat hibah tersebut tidak juga ditemukan, kalau memang sudah terdaftar sebagai hibah pasti BPN, Kelurahan maupun Kecamatan memiliki salinannya,” jelasnya.
Kimun, sapaan akrabnya juga mempertanyakan kebijakan Wali Kota Palu yang memasang harga ganti rugi kepada warga TPA Kawatuna. Padahal berdasarkan aturan, harga lahan ditetapkan oleh tim appraisal.
“Pemkot sudah anggarkan Rp10 miliar untuk ganti rugi, tapi itu kan ada prosedurnya. Mulai dari perencanaan, aksi, penentuan penetapan lokasi oleh BPN dan harga ganti ruginya ditentukan oleh tim appraisal. Ini kan belum melewati prosedur tapi pak Wali sudah berani memasang harga, ini kan bisa jadi temuan,” jelasnya.
Lanjut Kimun, jangan sampai keputusan Wali Kota Palu yang memasang harga ganti rugi tanpa prosedur yang ditetapkan merupakan cara untuk menenangkan warga TPA Kawatuna yang beberapa waktu lalu menutup akses pembuangan sampah, karena persoalan pembayaran ganti rugi lahan.
“Mungkin itu cara wali kota untuk menenangkan warga karena saat itu sampah kita juga sudah mengunung karena akses TPA yang tutup. Tapi cara itu kan salah karena melanggar prosedur yang ada,” jelasnya. (YAMIN)