MOROWALI – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendesak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI untuk menciptakan industri manufaktur turunan dari nikel yang ada di Morowali.

Hal itu menjadi salah satu poin kesimpulan dalam pertemuan terbatas antara DPR RI, dengan Kemenperin RI, Kementerian ESDM RI dan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), berlangsung hingga, Jumat (7/7) dini hari.

Anggota Komisi VII DPR, Nasril Bahar mengatakan, hadirnya investasi besar di Sulawesi Tengah ini, memberikan peluang yang sangat besar bagi kemandirian ekonomi untuk daerah ini. Tidak lagi harus mengekspor dalam bentuk bahan mentah, tapi sudah dalam bentuk jadi.

“Bisa dikatakan bahwa meningkatnya pendapatan daerah Sulawesi Tengah, apakah karena hadirnya kawasan industri ini? Apalagi serapan tenaga kerja di kawasan ini besar sekali. Ini perlu menjadi perhatian kita semua. Jangan sampai yang terjadi justru industri manufakturnya di Pulau Jawa tapi raw materialnya (bahan baku untuk memproduksi barang jadi) dari Sulawesi Tengah,” ucap legislator asal PAN itu.

Di tempat yang sama, Adian Napitupulu mengatakan, langkah awal yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong para pelaku-pelaku usaha untuk membangun industri UMKM di sekitar kawasan industri. Sebelum menciptakan iklim industrialisasi di kawasan industri tersebut.

“Gunanya apa, untuk menyerap bahan baku dari Kawasan Industri IMIP ini. Bagaimana pemerintah melihat itu untuk kemudian mendorong para pelaku usaha kita dalam melihat peluang ekonomi yang sangat besar ini. Harapan kita semua, mungkin setahun ke depan pemerintah juga sudah harus memikirkan bagaimana mendorong industrialisasi di kawasan ini,” jelas mantan aktivis 98 yang juga menjabat sebagai Sekjen Pena 98.

Sementara, Ditjen Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian RI, Heru Kustanto mengatakan, dari 41 total kawasan yang menjadi rencana strategis dari pemerintah, 17 diantaranya telah beroperasi. Sisanya dalam tahap perencanaan dan pembangunan. Dari 17 kawasan itu, Kawasan Industri IMIP adalah kawasan yang paling maju dan terpadat. Sehingga, kata dia, aspek lingkungan sudah harus dapat diperhatikan.

“Kita belum dapat memastikan bahwa di kawasan ini akan terbentuk sebuah industrialisasi untuk menyerap bahan setengah jadi yang dihasilkan. Hanya saja pemerintah terus mendorong proyek-proyek strategis nasional untuk berkembang,” kata dia.

Untuk diketahui, di Kawasan Industri IMIP telah terbentuk tiga klaster industri. Klaster yang pertama adalah stainless steel. Klaster ini mengolah biji nikel menjadi produk Nickel Pig Iron (NPI) sampai stainless steel. Di klaster ini terdapat 44 lines tungku NPI. Kapasitas produksi stainless steel lebih dari 3 juta metrik ton (MT) per tahun, kemudian kapasitas produksi Hot Rolled Coil (HRC) 3 juta ton per tahun dan Cold Rolled Coil 0,5 juta ton per tahun.

Selanjutnya klaster kedua adalah carbon steel. Klaster ini memproduksi carbon steel dengan kapasitas produksi lebih dari 3,5 juta ton per tahun dengan total investasi senilai US$ 1,1 miliar. Kehadiran klaster kedua ini diharapkan dapat menunjang kebutuhan baja di dalam negeri.

Klaster ketiga adalah klaster komponen baterai. Klaster ini memproduksi katoda baterai kendaraan listrik. Pada Klaster ini, terdapat 4 perusahaan yang memproduksi bahan baku baterai diantaranya PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Materials, PT Fajar Metal Industry, dan PT Teluk Metal Industry. Total kapasitas produksi katoda baterai EV (electric vehicle) dari keempat pabrik itu mencapai 240.000 metrik ton per tahun nikel kobalt dan nikel sulfida.

Dari keempat pabrik itu, dua lainnya telah beroperasi yakni PT Huayue Nickel Cobalt kapasitas produksi 70.000 ton per tahun (Ni-Co), dan PT QMB New Energy Materials kapasitas produksi sebesar 50.000 ton per tahun (Ni Sulfide & Ni-Co).

Selain itu, masih ada dua smelter nikel lagi untuk baterai yang dibangun. Keduanya adalah PT Fajar Metal Industry.

Reporter : Harits
Editor : Yamin