Donggala, Kota Tua Kaya Wisata Religi dan Tempat Ziarah

oleh -
Bagian interior Masjid Raya Donggala. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

DONGGALA bukan hanya kaya objek wisata alam laut dan pantai, tetapi memiliki potensi wisata religi yang sekaligus bisa menjadi tempat ziarah.

Objeknya dapat berupa rumah ibadah bernilai sejarah dan makam tokoh-tokoh agama setempat serta makam yang dikeramatkan.

Masjid Raya Donggala di tengah kota bukan hanya tempat ibadah lima waktu, melainkan menjadi salah satu kawasan wisata religi paling ramai dan sering dikunjungi warga.

Kunjungan baik untuk sholat maupun sekadar mengabadikan foto dari halaman masjid cukup luas. Masjid dilengkapi menara yang memancarkan suara adzan lima waktu. Dari halaman masjid ini sering dijadikan titik star atau tempat akhir kegiatan karnaval.

Komplek pemakaman Raja-Raja Banawa. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

Semula, Masjid Raya Donggala bentuk bangunan sangat sederhana. Semasa hidupnya, Imam Masjid Raya Donggala, KH. Ali Umar (alm) menyebut awalnya masjid hanya terbuat dari papan kayu dengan atap rumbia dan sudah berlantai marmer cukup mewah.

Sesuai perkembangan saat direnovasi dilakukan perluasan dan perubahan dari bahan kayu diganti bahan beton seperti terlihat saat ini.

Pendapat senada dibenarkan H. Ronny H. Djalaluddin (70 tahun) Ketua Dewan Penasehat Yayasan Masjid Raya Donggala.

Saat pembangunan (renovasi) masjid merupakan swadaya seluruh elemen masyarakat berperan. Termasuk anggota Polri memiliki andil membantu perampungan pengerjaan secara suka rela di akhir dekade 1960-an.

“Ketika itu tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan pegawai, politisi, pengusaha, polisi, guru-guru dan buruh-buruh pelabuhan hingga anak-anak sekolah ikut membangun Masjid Raya. Bukan hanya menyumbangkan uang tapi juga tenaga dengan membawa batu-batu, pasir dan berbagai material demi terwujudnya sebuah masjid kebanggaan masyarakat. Masa itu masjid dibangun atas partisipasi seluruh lapisan masyarakat tanpa berharap bantuan pemerintah,” ungkap H. Ronny Djalaluddin, beberapa waktu lalu.

Sebelum gempa bumi dan tsunami tahun 2018 lalu, sebuah masjid tua terapung cukup lama difungsikan, terletak di tepi Pantai Kelurahan Labuan Bajo. Namanya At-Taqwa atau populer sebutan Langgar Arab. Kini mulai dibangun kembali dengan menggunakan beton di tempat semula.

Selain masjid, objek wisata religi di kota Donggala terdapat pula makam tokoh penyebar Islam yang dikeramatkan. Namanya Lamandanga Pue Janggo di Kelurahan Ganti, Kecamatan Banawa.

Dalam catatan sejarawan Donggala, Andi Mas’ulun Lamarauna (1940-2000) menyebut makam tersebut merupakan salah satu bukti kehadiran Islam di Kerajaan Banawa sudah cukup lama ada dan menjadi agama resmi kerajaan.

Hingga kini makam Pue Janggo masih sering didatangi peziarah oleh warga setempat, termasuk peziarah dari daerah luar.

Peziarah yang datang bukan hanya pada hari raya atau hari peringatan bersejarah, tapi hampir tiap hari orang datang ke makam berbagai tujuan. Terutama untuk keperluan nazar tertentu atau ada yang datang untuk ziarah biasa.

Mas’ulun Lamarauna, menyebut, agama Islam masuk di Kerajaan Banawa melalui pelabuhan kali pertama diterima pada masa pemerintahan I Toraya tahun 1652 raja perempuan Kerajaan Banawa berkuasa tahun 1650-1698.

Mas’ulun menulis, Lamandanga Pue Janggo, ulama Kerajaan Banawa itu pernah belajar langsung pada Syekh Yusuf di Kerajaan Goa. Sekembali ke Banawa, meningkatkan syiar Islam dan mendatangkan guru-guru pengajian dari Sulawesi Selatan untuk mengajar di Kerajaan Banawa.

Tempat makam memiliki bangunan beratap seng baru dibangun beberapa tahun lalu untuk pelindung dari terik matahari maupun hujan bagi peziarah. Kondisi makam sangat sederhana seperti halnya makam umumnya dengan penanda nisan batu biasa dan bagian keliling dipasangi tegel.

Di arah selatan kota Donggala terdapat pula makam tokoh Islam, Syekh Lokiah di belakang sebuah masjid di Desa Towale. Namanya diabadikan pada sebuah sekolah swasta di desa tersebut. Cuma saja hingga kini siapa sebenarnya dan dari mana asal-usul Syekh Lokiah belum banyak terungkap.

Dalam sejarah perjuangan di Sulawesi Tengah tercatat awal abad ke 20 pernah terjadi Perang Donggala dipicu Malonda (Ketua Dewan Adat Pitunggota Kerajaan Banawa) menolak pengakuan pemerintah Hindia Belanda, meskipun akhirnya tak kuasa menghalau kekuatan kolonial. Makam tokoh ini terletak di belakang Masjid Al-Hidayah, Kelurahan Gunung Bale sering dikunjungi peziarah terutama kalangan siswa SLTA bersama gurunya rangkaian lawatan sejarah.

Di gerbang tersebut tertulis Makam Keluarga Malonda penanda kalau kompleks itu terdapat kuburan para kerabatnya. Masih di Kelurahan Gunung Bale ada pula kompleks makam orang Kristen dan orang Belanda sebagai bukti jejak kehadiran kolonial.

Makam raja-raja Banawa berada di Kelurahan Ganti dalam satu kompleks tak jauh dari kantor kelurahan setempat. Di sanalah Lasabanawa (Pue Mputi) raja yang memiliki pengaruh dan perluasan wilayah kerajaan, dimakamkan bersama Ruhana (putra dari Lamarauna), kecuali makam Lagaga berada di kompleks tersendiri.

Di Kelurahan Labuan Bajo terdapat makam tokoh-tokoh masyarakat awal abad ke 20 seperti Haji Semaoena kepala kampung pertama Donggala. Satu kompleks makam kedua putranya pernah pula menjadi kepala kampung; Ahmad Marzukie dan M.B. Latjanda.

Tokoh-tokoh berjasa dalam sejarah hingga kini tetap dikenang dan diabadikan pada nama jalan, cuma saja tak banyak orang mengetahui tempat-tempat dimana mereka dimakamkan.

Dalam dokumen RTRW Kabupaten Donggala hanya disebut situs makam cagar budaya, belum merinci atau diidentifikasi. Termasuk makam Gonenggati di bukit Kanggirui (Kanggihui) di Kabonga namanya diabadikan untuk taman, belum ditetapkan sebagai cagar budaya.

Khusus orang Tionghoa yang meninggal dunia pada saat pengantaran jenazah ke pemakaman menggunakan kereta kencana antik didorong tenaga manusia.

Sejak puluhan tahun lalu hingga kini tradisi itu masih dapat disaksikan menjadi momen menarik bagi warga selalu menyempatkan waktu menyaksikan penggunaan kereta kuno berbahan besi.

Di kota Donggala terdapat tiga gereja sudah lama berdiri di tengah kota yaitu GPID (Gereja Protestan Indonesia Donggala) Efrata di Jln. Pelabuhan (Kelurahan Boya). Gereja Pantekosta di Jln. Pettalolo (Kelurahan Boya) dan Gereja Katolik Santo Petrus di Jln. Lamarauna (Kelurahan Tanjung Batu).

Sedangkan masid atau mushola, minimal terdapat dua hingga enam di masing-masing kelurahan.

Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay