DONGGALA, sebuah kota tua yang dikenal sebagai pintu masuk Sulawesi Tengah, baru saja menggelar acara yang bertujuan mengangkat kuliner khas daerah, yaitu Donggala Kaledo Fest. Kegiatan ini digelar Jumat sampai Sabtu, 6 sampai 7 Desember.

Kegiatan yang berlangsung di Taman Kota Donggala pada Jumat malam, menjadi ajang perayaan makanan tradisional yang lekat dengan identitas budaya Donggala: kaledo, singkatan dari Kaki Lembu Donggala.

Kaledo, masakan berbahan dasar tulang kaki atau iga sapi. dengan kuah asam pedas yang gurih. Biasanya, kaledo disajikan bersama nasi atau ubi rebus. Penggemar kuliner ini sering pula mencoba sensasi menyantapnya dengan menggunakan sedotan untuk menyeruput daging dalam tulang sumsumnya.

Tidak sekadar makanan, filosofinya mencerminkan nilai budaya masyarakat Donggala dalam menghargai proses memasak yang penuh kesabaran dan seni menyajikan hidangan tradisional.

Namun, ironisnya, warung kaledo justru sulit ditemukan di Donggala sendiri. Sebagian besar tempat makan kaledo justru terkonsentrasi di Palu, ibu kota provinsi yang bertetangga. Dalam laporan Dinas Pariwisata Donggala, saat ini hanya ada satu warung kaledo yang beroperasi di Loli, sebuah kecamatan kecil di Donggala. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mengingat kaledo diakui sebagai ikon kuliner daerah tersebut.

Mimpi Besar, Tantangan Nyata

Dalam sambutannya, Pj Bupati Donggala, Muhamad Rifani Pakamundi, menekankan pentingnya melestarikan kaledo sebagai warisan budaya. “Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan semangat masyarakat dalam membudidayakan dan melestarikan makanan tradisional, khususnya kaledo,” ujarnya penuh optimisme saat mebuka kegiatan tersebut, Jumat malam tadi (6/12).

Ia berharap festival ini mampu membawa kaledo ke tingkat nasional dan internasional. Namun, di balik mimpi besar tersebut, tantangan nyata muncul: bagaimana memulihkan kaledo sebagai bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Donggala?

Muhammad, Kepala Dinas Pariwisata Donggala, dalam laporannya menegaskan perlunya mendirikan warung kaledo di setiap kecamatan pada 2025. Sebab saat ini, para wisatawan yang mencari kaledo harus pergi ke Palu.

” Saya berharap dengan diadakan Festival ini. Insya Allah ke depanya di tahun 2025, setiap kecamatan harus mendirikan warung kaledo, agar dikenal para wisatawan lokal maupun mancanegara,” harapnya.

Branding yang Tertinggal

Persoalan kurangnya ketersediaan warung kaledo di Donggala menjadi tantangan bagi promosi kuliner ini. Tanpa kehadiran nyata kaledo di tanah asalnya, sulit menjadikan kaledo sebagai bagian dari branding budaya Donggala.

Sebagian masyarakat mengeluhkan bahwa selama ini, kaledo lebih sering dipasarkan sebagai produk khas Sulawesi Tengah secara umum, tanpa penekanan pada asal-usulnya yang lekat dengan Donggala.

“Kalau kita bilang kaledo itu Donggala, kenapa lebih mudah mencarinya di Palu?” keluh seorang warga lokal.

Harapan dari Festival

Festival Kaledo Donggala Fest menjadi momen refleksi sekaligus langkah awal memperbaiki branding kaledo. Acara ini menampilkan aneka olahan kaledo, lomba memasak, pertunjukan musik, makan kaledo gratis, diskusi tentang potensi ekonomi kuliner tradisional, dan pertunjukan musik. Meski baru sebatas perayaan, inisiatif ini menunjukkan keseriusan pemerintah Donggala untuk menghidupkan kembali kuliner kebanggaannya.

Namun, keberhasilan upaya ini bergantung pada dukungan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pengusaha lokal. Membuat kaledo kembali menjadi kebanggaan Donggala tidak hanya soal festival, tetapi juga memastikan kaledo hadir di warung-warung, meja makan, dan hati masyarakat Donggala.

Jika tidak dimulai sekarang, apa yang akan dikenang generasi mendatang tentang kaledo? sebuah pertanyaan retoris yang menjadi renungan bersama.

Reporter: IRMA
Editor: NANANG