Zalim adalah orang yang melampaui batas dalam perkataan atau perbuatan baik terhadap dirinya sendiri orang lain atau hak-hak Allah. Sementara rakyat adalah orang-orang yang dipimpin oleh seorang pemimpin baik dalam skala besar seperti negara maupun dalam skala kecil seperti keluarga atau organisasi.
Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk mengurus rakyatnya dengan adil amanah dan bijaksana, tidak zalim atau semena-mena, bahkan menyengsarakan rakyatnya.
Lalu bagaimana seorang pemimpin itu bisa dikatakan menzalimi rakyat. Menzalimi rakyat bisa berupa memutuskan hukum yang tidak sesuai dengan syariat Allah, mengikuti hawa nafsu dan tidak berpedoman pada Alquran dan Sunnah.
Menzalimi rakyat juga bisa berupa tidak memberikan hak-hak rakyat seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Menzalimi rakyat juga bisa berupa membebani rakyat dengan pajak, utang, korupsi atau tindakan-tindakan yang merugikan rakyat.
Apa saja akibat-akibat menzalimi rakyat?. Menzalimi rakyat akan mendatangkan murka Allah dan siksa neraka bagi seorang pemimpin.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya “tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia meninggal dunia dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah mengharamkannya masuk surga” (HR Imam Al Bukhari)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mendoakan kebaikan untuk penguasa yang berbuat baik kepada rakyatnya dan mendoakan keburukan buat penguasa yang berbuat buruk kepada rakyatnya.
Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa “Wahai Allah barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku lalu dia bersikap lembut kepada mereka, maka bersikaplah lembut kepadanya”
Menzalimi rakyat juga akan menimbulkan kemurkaan, kebencian dan pemberontakan dari rakyat. Rakyat yang dizalimi akan berdoa kepada Allah agar segera mengganti pemimpin yang zalim dengan pemimpin yang adil. Rakyat yang dizalimi juga akan berusaha untuk menggulingkan pemimpin yang zalim dengan cara-cara yang halal maupun yang haram. Rakyat yang dizalimi juga akan kehilangan rasa hormat, cinta, dan loyalitas kepada pemimpin yang zalim.
Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah vertikal (hablumminallah), namun juga sangat perhatian terhadap urusan muamalah (hablumminananas). Itu sebabnya Al-Qur’an mengajarkan doa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al-Baqarah: Ayat 201)
Dalam persfektif syariat, Nabi Muhammad telah mengingatkan umatnya agar menjauhi perkara zhalim. Rasulullah menyampaikan pesan khusus kepada para pejabat agar berlaku adil dan amanah. Dalam satu Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, beliau berdoa:
“Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia”. (HR. Muslim No 1828)
Rasulullah mendoakan kebaikan bagi mereka. Betapa beruntungnya mereka.
Imam Ibnu Al Malak rahimahullah menjelaskan makna doa Rasulullah :
“Yaitu sayangilah dan mudahkanlah mereka”. (Syarh Al Mashabih, 4/257).
Hadits ini juga menunjukkan sikap tegas Rasulullah kepada mereka yang menyusahkan umatnya. Rasulullah mendoakan keburukan bagi mereka. Betapa meruginya mereka.
Imam Ibnu Al-Malak rahimahullah menerangkan makna doa buruk tersebut:
“Yaitu persulitlah urusan mereka (yang menyulitkan manusia) dan antarkanlah kesempitan hidup kepada mereka.
Mengenai hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan:
“Ini termasuk hadis yang paling tajam larangan keras mempersulit urusan manusia, dan dorongan yang paling besar dalam bersikap lembut kepada mereka, dan banyak hadits dengan makna seperti ini.” (Syarh Shahih Muslim, 6/299)
Berkaitan dengan ini pula, Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar, secara khusus membuat bab berjudul:
“Bab Bolehnya doa seseorang (dengan doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum muslimin atau menzalimi dirinya seorang.”
Beliau rahimahullah menjelaskan:
“Telah jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).” (Al Adzkar, 1/493). Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)