PALU –Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), melalui Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, melakukan langkah-langkah strategis untuk melaksanakan tugas dan fungsi (tupoksi), dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, yang mengamanatkan bahwa kewenangan pengawasan perairan menjadi kewenangan daerah provinsi.
Kepala Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan DKP Sulteng, Agus Sudaryanto mengatakan, terkait dengan amanah UU Nomor 23 itu, pihaknya memiliki tiga Pola Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP), yakni Pre Emptive, Preventif dan pembinaan.
“Program kita pertama ini mereview adaptif dengan regulasi-regulasi yang dinamis. Maksud saya, regulasi-regulasi yang terkait dengan usaha perikanan, termasuk di dalamnya pengawasan. Pengawasan ini bagian daripada kegiatan proses produksi perikanan yang ada di hilir perikanan, namun juga di hulu. Nah, kita melakukan ini di hilir, artinya begitu aktivitas usaha di hilir berjalan kita yang memonitor, terkait dengan pelanggaran dan dilakukan penindakan,” kata Agus, di Kantornya, Kamis (17/06).
Kata dia, regulasi dalam melakukan pengawasan saat ini telah diubah, lebih humanis atau dilakukan dengan cara pendekatan, berbeda dengan cara sebelumnya yang melakukan pengawasan dengan cara represif.
“Tapi setelah revisi UU Cipta kerja, mendorong agar usaha itu bisa tumbuh dengan semangat Omnibus Law UU Cipta kerja, yang memberi kesempatan kepada masyarakat. Itu yang harus kita cermati dan dukung. Artinya sekarang kegiatan usaha perikanan ini dodorong supaya tumbuh. Yang perlu kita melakukan itu pada saat sudah dalam proses operasional, dan kemudahan-kemudahan perizinan ini, sekarang saya kira sudah lebih kondusif dengan undang-undang cipta kerja,” akunya.
Agus mengaku, dalam melaksanakan pengawasan, pihaknya menjadikan amanat UU Cipta Kerja sebagai rujukan pengawasan. Sehingga saat ini pihaknya lebih mengedepankan tindakan Pre Emptive dan Preventif, tidak lagi Represif. Hanya saja, Represif bisa jalan ketika ada yang tidak bisa lagi dihindari.
Agus menyampaikan, kebijakan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, bahwa ketika pengelolaan kegiatan perikanan apalagi itu sifatnya berskala mikro tradisional, banyak sekali kebijakan-kebijakan., ada pengawasan yang berbasis resiko, yang berbasis resiko itu rata-rata skala menengah keatas.
“Ini yang kita monitor. Kenapa harus mengedepankan Pre Emptive? Karena untuk medorong sektor kelautan ini tumbuh. Apalagi dimasa pandemi proses ekonomi kolaps semua ini masyarakat pelaku perikanan kita. Jadi janganlah kita menjadi penghambat dari penegakan hukum, termasuk polisi, Angkatan Laut, kita sudah sinergi,” akunya.
Lanjut dia, kedepan DKP Sulteng menindaklanjuti UU Cipta kerja berbasis pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya di Sulteng melakukan langkah pendekatan yang lebih banyak kepada Pre Emptive dan pembinaan.
Agus menjelaskan, saat menemukan pelanggaran di lapangan, pihaknya akan melihat dan mengkaji suatu pelanggaran tersebut. Pertama, apakah memang pelaku usaha perikanan itu dia tidak update mengenai regulasi yang ada. Atau memang ada kendala-kendala dalam proses pengurusan izin.
“Kita beri contoh, seperti mereka yang ada di Banggai laut. Itukan kita tindaki tidak boleh pakai kacamata kuda. kita harus lakukan tindakan pembinaan, pendampingan, bahkan kita mengawal mereka supaya bisa memenuhi kepatutan itu. Jadi tujuan pengawasan itu salah satunya adalah kita tingkatkan tingkat kepatuhan mereka. Itulah sasaran kebijakan kami untuk pengawasan,”jelasnya..
“Intinya setelah mereka patuh, kontribusinya pasti ada, data produksi tercatat, distribusi tercatat, kemudian imbasnya mungkin ada rebtribusi ke daerah, itu effeck multipliernya. Yang ini sudah kita lakukan di tahun ini, pola seperti ini sudah ada kami buktikan dan berhasil, dan ternyata ini jauh lebih efektiv daripada sekadar menindak, menghukum atau mempidanakan,” terangnya.
Agus menambahkan, kalaupun ada tindakan yang memenuhi unsur pidanyanya, Itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Ketika mereka dihabisi dengan proses hukum, habis dia. Karena aktivitas usahanya hancur, tenaga kerjanya habis, assetnya disita, terus dia dihukum pula. Bagaiamana mau bangkit pelaku usaha kalau seperti itu, sementara kita ingin menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Jadi jangan juga penegakan hukumnya itu pakai kacamata kuda,” tandasnya. (YAMIN)