Ditinggalkan Bukan Berarti Dilarang

oleh -
Ilustrasi (www.wallpaperuse.com)

OLEH: Edi Lukito*

Tidak terdapat pertentangan diantara para ulama bahwa Perayaan Maulid Nabi. Saw adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah. Saw, di zaman para sahabatnya dan para tabi’in Radhiyallahu anhum.

Hal ini, telah jamak diketahui oleh umat Islam. Namun, amalan ini lestari dan istikamah dikerjakan oleh sebagian besar umat Islam.

Mengapa amalan ini masih dikerjakan padahal Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para tabi’in tidak mengerjakannya (meninggalkannya)?

Pada tulisan ini akan dibahas mengenai segala hal yang tidak dikerjakan Nabi Muhammad SAW dan para salafus sholih yang tidak ditemukan hadis atau riwayat-riwayat lainnya, melarang atau memakruhkan perbuatan yang tidak dikerjakan tersebut.

Olehnya, segala hal yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Saw dan para salafus solih  tidak secara spontan menunjukkan bahwa hal tersebut dilarang. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut:

Pertama, Allah.Swt berfirman di dalam surah al-Hasyr ayat 7:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Pada ayat di atas sebatas menyatakan ”apa yang dilarang Rasul maka jauhilah”, Allah. Swt idak menyatakan ”apa yang Rasul tinggalkan maka jauhilah”.

Oleh karena itu, perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi. Saw tidak menunjukkan hal itu dilarang sehingga harus dijauhi.

Dalam arti lain, perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Saw dan terdapat nas (Alqur’an dan hadis) yang melarang, maka perbuatan tersebut dilarang dan harus dijauhi. Sementara untuk perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Saw dan tidak terdapat nash yang melarang, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan boleh dikerjakan.

Kemudian sebagai penguat, terdapat hadis riwayat Abu Hurairah. Ra yang senada  dengan ayat di atas, berbunyi:

ما نهيتكم عنه فاجتنبوه، وما أمرتكم به فأْتُوا منه ما استطعتم،

“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah, dan apa yang telah aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian!…” (Muttafaqun alaih).

Kedua, pengertian sunah menurut Ulama Ushul adalah perkataan Nabi Muhammad. Saw, perbuatannya, dan segala keputusannya. Ulama Ushul tidak mendefinisikan sunnah dengan ‘hal-hal yang ditinggalkannya’ sebab hal-hal yang ditinggalkan oleh Nabi Saw tidak menjadi asas dibolehkan atau dilarangnya suatu perbuatan.

Ketiga, telah diketahui bahwa hukum Islam diambil melalui firman Allah.Swt. Para Ulama menyatakan bahwa representasi dari firman Allah.Swt adalah Alqur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas.

Kembali lagi, para Ulama tidak memasukkan Tarku (hal-hal yang ditinggalkan). Maka, Tarku tidak bisa dijadikan asas dalam penetapan hukum.

Keempat, Nabi SAW meninggalkan suatu perbuatan karena berbagai macam sebab, antara lain: karena sudah menjadi kebiasaan (adat), karena Nabi. Saw lupa, karena takut hal tersebut akan diwajibkan, karena tidak terpikirkan oleh Nabi untuk mengerjakannya.

Beberapa sebab ini diambil dari hadis-hadis Nabi. Saw, serta riwayat para Sahabat dan Tabi’in.

Lalu, tidak ditemukan satu hadis pun yang mengutarakan bahwasannya Nabi Muhammad SAW meninggalkan suatu perbuatan karena perbuatan itu haram. Kecuali perkara yang secara tegas dilarang melalui Alqur’an atau Hadis.

Itulah beberapa sebab, mengapa perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Saw belum tentu dilarang. Terlepas dari keempat alasan di atas, bukankah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW wajib mengikuti segala hal yang dikerjakan maupun ditinggalkan oleh beliau?

Nah, untuk menjawab itu, kita harus menkontekstualisasikan keadaan kita sekarang, dengan keadaan di masa Nabi. Saw. Kehidupan manusia selalu berjalan dinamis dan mengalami perkembangan.

Maka, bagaimana mungkin kita tidak mengerjakan perkara yang tidak dikerjakan di zaman Nabi. Saw, kemungkinan hal itu karena sifat naluriah Nabi SAW, atau karena beliau lupa, atau karena adat/kebiasaan di zaman beliau atau karena beliau belum terpikirkan untuk mengerjakan perkara tersebut.

Sebagai salah satu contoh perbuatan yang tidak dikerjakan (ditinggalkan) oleh Nabi Muhammad Saw adalah merayakan hari kelahirannya atau sekarang lebih dikenal dengan Maulid Nabi.

Sesuai penjelasan di muka, perbuatan yang ditinggalkan tidak berarti dilarang kecuali jika ditemukan nas yang melarangnya. Sementara Maulid Nabi tidak ditemukan nas yang melarang. Maka, konklusinya, merayakan Maulid Nabi tidak haram, atau boleh dikerjakan.

Imam Ibnu Hajar al-Asyqolani memberikan satu nalar atas kebolehan, bahkan anjuran untuk merayakan Maulid Nabi, melalui hadis Nabi. Saw yang menceritakan bahwa beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura, dengan alasan hari itu Nabi Musa. As diselamatkan dari kejaran Fir’aun.

Kemudian, Nabi. Saw mengatakan bahwa umat Islam lebih berhak atas Nabi Musa. As, akhirnya beliau ikut merayakan hari Keselamatan Nabi Musa. As dengan berpuasa dan memerintahkannya kepada umat Islam.

Telah jelas di atas bahwa Nabi Muhammad. Saw ikut merayakan hari keselamatan Nabi Musa. as dengan berpuasa sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa syukur.

Sehingga, apabila kita merasakan karunia terbesar yang diberikan Allah. Swt di alam semesta adalah kelahiran dan diutusnya Nabi Muhammad. Saw, maka sudah sepatutnya kita bergembira dan bersyukur atas kelahiran Nabi. Saw dengan berbagai bentuk perayaan yang dibolehkan oleh syariat.

Walakhir, kehidupan beserta dinamikanya  terus berlanjut, tidak berhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Era kehidupan Nabi. Saw pun telah berlalu jauh, sementara manusia dengan akal dan kecerdasannya terus mengalami perkembangan dan kemajuan.

Permasalahan, gaya hidup, serta adat/kebiasaan di era Nabi. Saw juga sangat berbeda dengan kehidupa hari ini. Sehingga dinamika kehidupan saat ini terlalu luas, apabila perbuatan kita sekarang harus benar-benar disesuaikan pada hal-hal yang dikerjakan oleh Nabi. Saw, dan meninggalkan hal-hal yang tidak dikerjakannya.

Pun, setiap orang berbeda dalam mengekspresikan rasa syukur dan gembiranya, selama itu wajar atau tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan, mengapa harus dilarang?

Rujukan: Husnu at-tafahhumi wa ad-darki limas’alati at-tarki, oleh Imam Abdullah bin Muhammad bin Assidiq al-Ghummari. Cetakan ke-VII, 2017, Maktabah al-Qahirah.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo