Disiplin APBN-APBD, Solusi Mengatasi Dampak Melemahnya Rupiah Terhadap Dollar AS

oleh -
Ilustrasi. (detik.com)

OLEH : Moh. Ahlis Djirimu*

Senin, 24 Juni 2024, Rupiah menguat 0,34 persen pada Rp16.394,- per USD dari sesi penutupan Jum’at, 22 Juni 2024 sebesar Rp16.450,-. Hari ini, kurs Rupiah mencapai Rp16.375,- atau menguat lagi sebesar 0,12 persen.

Fenomena ini atau berfluktuasinya kurs mata uang domestik, atau lebih tepat dikatakan volatilitas rupiah merupakan hal biasa di pasar keuangan global.

Secara teoritis, volatilitas kurs Rupiah ini tidak terlepas dari pilihan Indonesia dalam pemberlakuan sistem kurs.

Di Ekonomi Moneter International, dikenal the imposibility trinity of Robert Mundell atau Trilema Segitiga Mundell. Setiap negara di dunia ini diperhadapkan pada tiga pilihan yakni kebijakan yakni Independensi Bank Sentral, Stabilitas Kurs, dan Integrasi Pasar keuangan Dunia.

Dari tiga tersebut, setiap negara hanya dapat memilih dua saja: Bila suatu negara memilih Independensi Bank Sentral dan Stabilitas Kurs, maka kebijakan negara tersebut bertumpu pada pengendalian arus modal.

Bila suatu negara memilih Stabilitas Kurs dan Integrasi Pasar keuangan Dunia, maka kebijakan negara tersebut bertumpu pada penyatuan moneter.

Lalu bila negara tersebut memilih Integrasi Pasar keuangan Global dan Independensi Bank Sentral, maka, negara tersebut menempuh kebijakan rezim kurs mengambang.

Negara-negara Asia, umumnya memilih yang ketiga seperti Korea Selatan, Indonesia, Thailand, Filipina tentu berkonsekuensi pada pembiaran pada stabilitas nilai tukar dan ini merupakan konsekuensi yang diterima oleh negara yang perekonomiannya terbuka.

Faktor penyebabnya pertama menguatnya USD terhadap berbagai mata uang negara lain terutama Rupiah.

Pemicu Kedua, perang berkelanjutan di Timur Tengah dan Perang Rusia dan Ukraina.

Pemicu ketiga, sebenarnya berada di sisi fiskal. Contohnya, program makan siang gratis yang sekarang sudah diubah menjadi program makan bergizi sebesar Rp71 triliun apakah tidak akan menganggu kesinambungan fiskal?

Apakah program-program pemerintahan baru Prabowo-Gibran akan membebani APBN?

Pada 2025, defisit anggaran diperkirakan mencapai rentang 2,29-2,82 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau di bawah ambang batas psikologis pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara sebesar 3 persen.

Program makan siang bergizi tersebut sudah masuk dalam rentang defisit anggaran 2,29-2,82 persen.

Selanjutnya, rasio hutang per PDB diperkirakan berada pada angka 38 persen.

Adanya ketidakpastian suku bunga Amerika atau Fed Fund Rate menimbulkan sentimen negatif pada suku bunga di berbagai negara. Ini yang disebut sebagai efek Fisher yang juga dapat menimbulkan efek rambatan inflasi dari Amerika ke Indonesia karena mitra dagang besar, seperti Indonesia dan Tiongkok, fluktuasi Renminbi dapat menimbulkan efek rambatan ke Indonesia atau inflasi impor.

Solusi paling utama adalah adanya disiplin anggaran pada pemerintahan Prabowo-Gibran.

Demikian pula daerah, harus mengantisipasi dengan ketidakpastian penerimaan negara karena melemahnya daya beli atau permintaan dunia.

Caranya adalah disiplin APBD, jangan boros anggaran, belanja berkualitas, mengurangi perjalanan dinas keluar daerah.

Krisis tentu wajib kita antisipasi, tetapi saya yakin Indonesia masih jauh dari krisis kembar yakni krisis perbankan dan krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi seperti pada 1998.

Di Tahun 1998, penyebabnya adalah krisis Tata Kelola keuangan di Thailand karena Bangkok International Bank Facility menerima valuta asing lalu menyalurkannya pada usaha yang pengembalian datanya berjangka menengah dan panjang seperti ditanamkan pada sektor perhotelan, resorts, apartemen, lalu terjadi jatuh tempo atau istilahnya terjadi time mismatch dan maturity mismatch.

Runtuhnya Baht Thailand diperparah, capital inflow tersebut ditanam pada kelompok sendiri yang sama dengan pemilik bank.

Tentu dengan kredibilitas fiskal yang baik saat ini, saya tidak melihat akan terjadinya krisis. Sejak krisis Asia, setiap pemerintah sudah mempunyai namanya Early Warning System (EWS) deteksi ini terjadi krisis.

Saya mendalami EWS sejak 1998, dan kita dapat memperkirakan 2 tahun sebelum datangnya krisis.

Selain itu, di Asia, ada namanya Inisiatif Chiang Mai yakni sebuah kerjasama pooling fund antisipasi krisis. Namun, tidak ada salahnya kita tidak waspada pada pengalaman menunjukkan krisis terjadi meregional dan mempunyai sifat menjalan seperti dari krisis Asia 1998, lalu krisis Rubel 2002, mini krisis Asia 2005, krisis Amerika pada 2008, krisis zona Euro pada 2010.

Hal ini terjadi semenjak runtuhnya sistem Bretton Woods di Tahun 1973, maka tidak ada satupun rezim kurs yang tepat bagi suatu negara dalam waktu yang sama.

*Penulis adalah Anggota Middle East Economist Association/Pengajar FEB-Untad dan Regional Expert Sulawesi BKF-Kemenkeu