PALU – Warga Kelurahan Talise dan Talise Valangguni mengklarifikasi terkait isu yang selama ini menyebut mereka menolak atau menghalang-halangi proses pembangunan Hunian tetap (Huntap) untuk koran bencana 2018 lalu.
Ustad Ubay Harun mewakili dua kelurahan bersaudara itu, dalam rapat Panitia khusus (Pansus) Rehab Rekon percepatan penanggulangan bencana, di Dewan Perwakilan Rakuyat Daerah (DPRD) Kota Palu, Rabu (30/09) lalu mengatakan, video penolakan pembangunan Huntap III oleh warga Talise dan Valangguni beberapa waktu lalu telah viral di media sosial (Medsos).
Kata dia, hal itu memunculkan opini atau anggapan masyarfakat luas bahwa, warga dua kelurahan itu tidak memiliki rasa kemanusiaan, karena tidak peduli terhadap keluarga-keluarga yang saat ini masih berada di Hunian sementara (Huntara).
“Saya yakin, ini menjadi sebuah opini dalam masyarakat, maka pada kesempatan ini saya ingin mengklarifikasi, sebagai salah satu warga Talise. Saya mengatakan bahwa semua yang kita saksikan itu ternyata hanyalah akibat. Ada faktor penyebab, ada latar belakang yang mengakibatkan kenapa semua ini bermunculan,” ucap Ubay.
Menurut dia, hal itu terjadi karena sebuah kelalaian dari Badan Pertanahan Nasioanl (BPN). Dia menyampaikan, Undang-Undang (UU) pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 40 mengatakan, bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) itu telah terhapus atau dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhinya, yakni tidak memanfaatkan sesuai dengan peruntukan.
Salah satu contoh, PT. Duta Dharma Bhakti yang memiliki sertfikat HGB di lokasi pembangunan Huntap III. BPN telah mengetahui bahwa tanah itu ditelantarkan oleh pemegang hak, karena tidak memanfaatkan sebagaimana peruntukannya.
“Kenapa tidak dihentikan selama ini, sejak tahun 1994 Kemudian berakhir di tahun 2014.padahal Kewenangan di tangan BPN. Kenapa tidak dihentikan, kenapa dibiarkan dia menelantarkan tanahnya sampai berakhir masanya tahun 2014?,” tanya Ubay.
Lanjut Ubay, yang kedua Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 juga menyebutkan, bahwa HGB itu bisa terhapus karena dibatalkan oleh pejabat berwenang sebelum jangka waktunya berakhir, dan pejabat yang berwenang itu adalah BPN.
“Sudah jelas pemanfaatannya tidak jelas. Kenapa BPN tidak membatalkan sebelum masanya itu berakhir,” tambahnya..
Selanjutnya, PP Nomor 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Tentunya ketika PP ini dikeluarkan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ketika itu, telah disampaikan ke BPN, agar BPN melakukan identifikasi dan penlitian terhadap mana tanah-tanah terlantar.
“Pertanyaa kami adalah, apa yang dilakukan pihak BPN selama ini? ketika melakukan identifikasi dan penelitian ternyata faktanya ada tanah yang terlantar. Mestinya pihak BPN itu turun kelokasi melakukan penelitian dan identifikasi tadi. Kok ada tanah terlantar oleh pihak Dharma bhakti. Ketika pihak BPN melakukan penelitian dan identifikasi ternyata ada masyarakat diatasnya, maka ketika itu kita akan bermusyawarah. Sekian hentar untuk masyarakat, sekian untuk pemerintah dan sekian hektar untuk pihak investor. Saya kira selesai ketika itu, tidak akan ada aksi-aksi penolakan,” jelasnya.
Lanjut Ubay, jika kala itu BPN selaku perpanjangan tangan pemerintah pusat, melaksanakan kewajiban mereka. Ketika terjadi bencana, kemudian ada rencana nasional untuk rehab rekon, semua sudah jelas penempatannya.
“Mohon maaf kita semua hanya penerima akibat. Sebenarnya apabila BPN betul-betul melakukan fungsinya dengan baik, tidak akan terjadi hal seperti ini,” tegasnya.
Dia menambahkan, tidak masalah jika lokasi pembangun Huntap itu dilaksanakan di atas tanah yang tidak ada pemiliknya. Tetapi yang terjadi saat ini adalah, pembangunan Huntap itu dilaksanakan diatas tanah yang ada pemiliknya. Ditambah lagi dengan hingga saat ini pemerintah tidak memberi kejelasan lokasi yang dijadikan pengganti lokasi tersebut . (YAMIN)